A.
PENDAHULUAN
Salah satu
aspek penting yang harus kita perhatikan dalam menghadapi era globalisasi
teknologi informasi saat ini adalah mengenai konsep pendidikan seumur hidup, karena
apa yang ada di sekitar kita senantiasa
mengalami perubahan dan perkembangan yang sangat pesat. Perubahan yang terjadi
seperti inovasi teknologi, mobilisasi penduduk, perubahan sistem ekonomi, dan
sejenisnya begitu cepat terjadi. Dalam kondisi ini, maka pengetahuan yang
diperoleh seseorang ketika ia berumur 21 tahun akan menjadi usang ketika ia
berumur 40 tahun. Apabila demikian halnya, maka pendidikan sebagai suatu proses
transmisi pengetahuan sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan modern (Zainudin
Arif, 1994:1).
Untuk
mengantisipasi perubahan tersebut, pendidikan orang dewasa perlu mendapat
perhatian, karena kenyataan di lapangan, bahwa tidak sedikit orang dewasa yang
harus mendapat pendidikan baik pendidikan informal maupun nonformal, misalnya
pendidikan dalam bentuk keterampilan, kursus-kursus, penataran dan sebagainya.
Masalah yang sering muncul adalah bagaimana kiat, dan strategi membelajarkan
orang dewasa?. Dalam hal ini, orang dewasa sebagai siswa dalam kegiatan belajar
tidak dapat diperlakukan seperti anak-anak didik biasa yang sedang duduk di
bangku sekolah tradisional. Oleh sebab itu, harus dipahami bahwa, orang dewasa
yang tumbuh sebagai pribadi dan memiliki kematangan konsep diri bergerak dari
ketergantungan seperti yang terjadi pada masa kanak-kanak menuju ke arah
kemandirian atau pengarahan diri sendiri.
Menurut
Knowles terdapat empat definisi orang dewasa yaitu: (1) Dari aspek biologi:
Individu itu mencapai tahap dewasa apabila mencapai peringkat umur tertentu dan
mampu melahirkan anak, (2) Dari aspek undang-undang: Individu itu dianggap
dewasa apabila mencapai syarat untuk terikat dalam undang-undang seperti
memiliki surat ijin mengemudi, pemilihan umum, dan menikah. 3) Dari aspek
sosial: Individu itu dianggap dewasa apabila dia dapat memainkan peranan
sebagai orang dewasa, bekerja dan berumah tangga. 4) Dari aspek psikologi:
Individu itu dianggap dewasa apabila dia mencapai tahap kesempurnaan di mana dia mampu mengurus hidupnya sendiri.
Kematangan
psikologi orang dewasa sebagai pribadi yang mampu mengarahkan diri sendiri ini
mendorong timbulnya kebutuhan psikologi yang sangat dalam yaitu keinginan
dipandang dan diperlakukan orang lain sebagai pribadi yang mengarahkan dirinya
sendiri, bukan diarahkan, dipaksa dan dimanipulasi oleh orang lain. Dengan
begitu apabila orang dewasa menghadapi situasi yang tidak memungkinkan dirinya
menjadi dirinya sendiri maka dia akan merasa dirinya tertekan dan merasa tidak
senang (Asmin,2007). Karena orang dewasa bukan anak kecil, maka pendidikan bagi
orang dewasa tidak dapat disamakan dengan pendidikan anak sekolah. Perlu
dipahami apa pendorong bagi orang dewasa belajar, apa hambatan yang dialaminya,
apa yang diharapkannya, bagaimana ia dapat belajar paling baik dan sebagainya
Pemahaman
terhadap perkembangan kondisi psikologi orang dewasa tentu saja mempunyai arti
penting bagi para pendidik atau fasilitator dalam menghadapi orang dewasa
sebagai siswa. Berkembangnya pemahaman kondisi psikologi orang dewasa semacam
itu tumbuh dalam teori yang dikenal dengan nama andragogi. Andragogi sebagai
ilmu yang memiliki dimensi yang luas dan mendalam akan teori belajar dan cara
mengajar. Secara singkat teori ini memberikan dukungan dasar yang esensial bagi
kegiatan pembelajaran orang dewasa. Oleh sebab itu, pendidikan atau usaha
pembelajaran orang dewasa memerlukan pendekatan khusus dan harus memiliki
pegangan yang kuat akan konsep teori yang didasarkan pada asumsi atau pemahaman
orang dewasa sebagai siswa.
B.
PERKEMBANGAN ANDRAGOGI
Istilah
andragogi sebagai istilah teori filsafat pendidikan telah digunakan dalam tahun
1833 oleh Alexander Kapp, seorang bangsa Jerman yang bekerja sebagai guru grammer, namun kemudian istilah tersebut
menghilang dalam peredaran jaman (Mappa,1994: 111). Tahun 1921, istilah
tersebut dimunculkan kembali oleh Eugene Rodenstock, seorang pengajar pada
Akademi Buruh di Frankfurt, dalam laporannya pada akademi tersebut, ia
mengemukakan pendapat bahwa pendidikan orang dewasa membutuhkan guru-guru
khusus, metode dan filsafat khusus, bukan teori pendidikan atau pedagogik yang
diterapkan pada situasi pendidikan bagi anak-anak.
Sejak tahun
1970, istilah andragogi semakin banyak digunakan oleh petugas-petugas
pendidikan orang dewasa di Eropa seperti Belanda, Perancis, dan Inggris, bahkan
juga di benua Amerika seperti Amerika Serikat, Venezuela dan Canada, demikian
juga di Asia, yaitu India.
Selanjutnya
pada tahun 1980, Malcom Knowles dalam bukunya yang berjudul The Modern Practice of Adult Education. Andragogy versus pedagogy mengupas perspektif teori belajar dan teori
pembelajaran orang dewasa . Knowles menegaskan adanya perbedaan asumsi antara
belajar orang dewasa dengan belajar bagi anak-anak dilihat dari segi
perkembangan kognitif mereka, asumsi
tersebut adalah perbedaan dalam konsep diri, perbedaan pengalaman, kesiapan
untuk belajar, dan perbedaan dalam orientasi ke arah kegiatan belajar.
Malcom
Knowles yang hidup tahun 1913-1997 merupakan figur pendidikan orang dewasa
Amerika Serikat selama setengah abad ke 20, dalam tahun 1950-an ia menjadi
direktur eksekutif Asosiasi Pendidikan Orang Dewasa Amerika Serikat. Telah banyak tulisan yang dihasilkan, diantaranya adalah Informal
Adult Education (1950), Adult
Leadership(1968), The Modern Practice of Adult Education (1970), The
Adult Learner (1973) dan Self Directed Learning (1975).
Dengan mengembangkan pembelajaran
orang dewasa dengan teori andragoginya, Knowles dianggap sebagai bapak teori
andragogi meskipun bukan di yang pertama menggunakan istilah tersebut.
C.
PENGERTIAN ANDRAGOGI
Andragogi
berasal dari bahasa Yunani kuno "aner", dengan akar kata andr-
yang berarti orang dewasa, dan agogos yang berarti membimbing atau membina. Disamping
itu, ada istilah lain yang sering dipergunakan sebagai perbandingan adalah
"pedagogi", yang ditarik dari kata "paid" artinya
anak dan "agogos" artinya membimbing atau memimpin. Maka dengan
demikian secara harafiah "pedagogi" berarti seni atau pengetahuan
membimbing atau memimpin atau mengajar anak sedangkan ”andragogi” berarti seni
atau pengetahuan membimbing atau memimpin atau mengajar orang dewasa.
Lindeman
(1972) menyatakan bahwa pembelajaran orang dewasa (andragogi) merupakan teknik
baru dalam kaedah pembelajaran, merupakan proses di mana pelajar sadar
bagaimana menilai dan memperoleh pengalaman, fakta, informasi serta menggunakan pengetahuan
dengan tujuan menyelesaikan masalah. Gesner
(1956) menyatakan bahwa pembelajaran orang dewasa merupakan satu konsep di mana
aktivitas yang sengaja diadakan untuk pengembangan orang dewasa dengan tujuan
untuk peningkatan kesadaran, penambahan pengalaman dan pengetahuan. Sedangkan
menurut UNESCO mendifinisikan Pembelajaran orang dewasa adalah keseluruhan proses
pendidikan yang diorganisasikan, apapun isinya, tingkatan, metodenya baik
formal atau tidak, melanjutkan maupun menggantikan pendidikan semula di sekolah,
akademi dan universitas serta latihan kerja yang membuat orang dianggap dewasa
oleh masyarakat untuk membangun kemampuan, memperkaya pengetahuan serta
meningkatkan kelayakan teknik dan profesionalnya, dan mengakibatkan perubahan pada
sikap dalam perilakunya dalam perspektif rangkap perkembangan pribadi secara
utuh dan partisipasi dalam pengembangan sosial, ekonomi dan budaya yang
seimbang dan bebas (Townsend, 1997 dalam Suprijanto, 2007).
Sebelum pendidikan orang dewasa dan teori
belajar orang dewasa berkembang secara baik, banyak praktek mengajar orang
dewasa dilakukan sama saja dengan mengajar anak. Prinsip-prinsip dan asumsi
yang berlaku bagi pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan
pendidikan orang dewasa. Hampir semua yang diketahui mengenai belajar ditarik
dari penelitian belajar yang terkait dengan anak. Begitu juga mengenai mengajar,
ditarik dari pengalaman mengajar anak-anak, teori mengenai transaksi guru dan
siswa didasarkan pada suatu definisi pendidikan sebagai proses pemindahan
kebudayaan. Namun, orang dewasa sebagai pribadi yang sudah matang mempunyai
kebutuhan dalam hal menetapkan daerah belajar di sekitar problem hidupnya.
Andragogi
secara harfiah dapat diartikan sebagai seni dan pengetahuan mengajar orang
dewasa. Namun, karena orang dewasa sebagai individu yang dapat mengarahkan diri
sendiri, maka dalam andragogi yang lebih penting adalah kegiatan belajar dari peserta
didik bukan kegiatan mengajar guru. Orang dewasa sebagai individu yang sudah
mandiri dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, maka dalam andragogi yang
terpenting dalam proses interaksi belajar adalah kegiatan belajar mandiri yang
bertumpu kepada warga belajar itu sendiri dan bukan merupakan kegiatan seorang
guru mengajarkan sesuatu (Learner Centered Training / Teaching). Oleh
karena itu, dalam memberikan definisi andragogi lebih cenderung diartikan
sebagai seni dan pengetahuan membelajarkan orang dewasa.
D.
BELAJAR DAN MENGAJAR DALAM ANDRAGOGI
1. Orang Dewasa Belajar
Semula ada
anggapan bahwa berdasarkan laporan yang dikemukakan oleh E.L. Thorndike bahwa
kemampuan untuk belajar seseorang menurun secara perlahan sesudah umur 20
tahun. Tetapi hasil studi terakhir yang dikemukakan oleh Irving Lorge
menunjukkan bahwa menurunnya itu hanya dalam kecepatan belajarnya dan bukan
dalam kekuatan intelektualnya (Zainudin Arif,1994:7). Ditegaskan pula dalam
penelitian Monge (1975) dalam Mukminan (1998:64-65) bahwa kesulitan belajar
bagi orang dewasa dipekirakan terletak pada kesiagaan belajar, bukan terletak
pada fungsi memori dan kognitif.
Kemampuan
seseorang untuk belajar masih tetap ada sepanjang hidup orang tersebut, apabila
seorang dewasa tidak mampu menampilkan kemampuan belajar yang sebenarnya, hal
ini karena beberapa faktor seperti orang tersebut sudah lama meninggalkan cara
belajar yang sistematik atau karena adanya perubahan-perubahan faktor
fisiologik seperti menurunnya pendengaran, penglihatan dan tenaganya.
Disamping
itu, orang dewasa perlu belajar dan terus belajar karena adanya suatu tuntutan
perubahan. Oleh karena itu pendidikan sekarang tidak lagi dirumuskan sebagai upaya untuk mentransmisikan
pengetahuan, tetapi dirumuskan sebagai suatu proses penemuan sepanjang hayat
terhadap apa yang dibutuhkan untuk diketahui.
2. Belajar Merupakan Proses Dari Dalam
Pandangan
tradisional cenderung memandang pendidikan sebagai informasi yang
ditransmisikan dan melihat belajar sebagai suatu proses intelektual dalam
meyimpan fakta-fakta, pandangan tersebut tidak seluruhnya benar. Pandangan baru
mengemukakan bahwa belajar merupakan suatu proses dari dalam yang dikontrol
langsung oleh peserta didik sendiri serta melibatkan dirinya dalam fungsi
intelektual, emosi dan fisiknya.
Belajar
secara psikologik dipandang suatu proses pemenuhan kebutuhan dan tujuan. Ini
berarti bahwa peserta merasakan adanya kebutuhan untuk belajar dan melihat
tujuan pribadi akan dapat tercapai dengan bantuan belajar. Pembelajaran tidak
akan tercapai secara baik apabila peserta sendiri tidak merasakan adanya
kebutuhan untuk belajar bagi dirinya.
Dalam
proses belajar mengajar orang dewasa, pelibatan peserta secara aktif akan dapat
menghasilkan belajar yang paling kuat, dalam hal ini peserta dilibatkan dalam
mendiagnosis kebutuhan belajar, merumuskan tujuan belajarnya, berbagi tanggung
jawab dalam merancang dan melaksanakan kegiatan belajarnya serta ikut pula
dalam mengevaluasi kemajuan belajarnya.
3. Kondisi Belajar dan Prinsip-Prinsip Mengajar
Menurut Zainudin
Arif (1994:8-10) ada beberapa kondisi belajar dan prinsip-prinsip mengajar yang
perlu dianut dalam proses belajar mengajar yang bersifat andragogik antara
lain:
|
Kondisi Belajar
|
Prinsip-prinsip mengajar
|
|
A. Peserta
merasa ada kebutuhan untuk belajar
|
1) Fasilitator
mengemukakan kepada peserta kemung-inan-kemungkinan baru untuk pemenuhan
dirinya
2) Fasilitator membantu
setiap peserta untuk memper-jelas aspirasi dirinya untuk peningkatan
perilakunya
3) Fasilitator membantu
peserta mendiagnosis perbedaan antara aspirasinya dengan tingkat
penampilannya sekarang
4) Fasilitator membantu
peserta mengidentifikasi masalah-masalah kehidupan yang mereka alami karena
adanya perbedaan tadi
|
|
B. Lingkungan belajar ditandai oleh keadaan fisik
yang menyenang-kan, saling menghormati dan mempercayai, saling membantu,
kebebasan mengemukakan pendapatnya, dan setuju adanya perbedaan
|
5) Fasilitator memberikan
kondisi fisik yang menyenangkan seperti tempat duduk, ventilasi, lampu dan
sejenisnya dan kondisi untuk menciptakan interaksi antara peserta satu sama
lain
6) Fasilitator memandang
bahwa setiap peserta merupakan pribadi yang bermanfaat dan menghormati
perasaan dan gagasan-gagasannya
7) Fasilitator membangun
hubungan saling membantu antara peserta dengan mengembangkan
kegiatan-kegiatan yang bersifat kooperatif dan mencegah adanya persaingan dan
saling memberikan penilaian
|
|
C. Peserta memandang
tujuan pengalaman belajar menjadi tujuan mereka sendiri
|
8) Fasilitator melibatkan
peserta dalam suatu proses merumuskan tujuan belajar dimana kebutuhan
peserta, lembaga, pengajar, masyarakat ikut dipertimbangkan pula
|
|
D. Peserta menyetujui
untuk saling membagi tanggung jawab dalam perencanaan dan melaksanakan belajar.
|
9) Fasilitator ikut
membantu pula dalam merancang pengalaman belajar dan memilih bahan-bahan dan
metode serta melibatkan peserta dalam setiap keputusan bersama-sama
|
|
E. Peserta
berpartisipasi secara aktif dalam proses belajar
|
10) Fasilitator membantu
peserta mengorganisir dirinya (kelompok untuk melakukan proyek, team belajar
mengajar, studi bebas dan lain-lain) untuk memban-u tanggung jawab dalam
proses pencarian bersama
|
|
F. Proses belajar dikaitkan dan menggunakan pengalaman peserta
|
11) Fasilitataor membantu
peserta menggunakan pengalaman mereka sendiri sebagai sumber belajar melalui
penggunaan teknik seperti diskusi, permainan peran, kasus dan sejenisnya
12) Fasilitator
menyampaikan presentasinya berdasar-kan sumber-sumber dari dirinya terhadap
tingkat pengalaman peserta
13) Fasilitator membantu
peserta untuk mengaplikasi-an belajar baru terhadap pengalaman mereka, dan
ini berarti membuat belajar lebih bermakna dan terpadu
|
|
G. Peserta mempunyai
rasa kemajuan terhadap tujuan belajar mereka
|
14)
Fasilitator melibatkan peserta dalam mengembang-an
kriteria yang disetujui bersama serta metode dalam mengukur kemajuan terhadap
tujuan belajar
15)
Fasilitator membantu peserta mengembangkan dan
mengaplikasikan prosedur dalam mengevaluasi diri sendiri berdasarkan kriteria
itu.
|
Sumber: Zainudin Arif
(1994:8-10)
E.
PRINSIP-PRINSIP ANDRAGOGI
Prinsip-prinsip
pembelajaran orang dewasa menurut Cross
(1981) adalah pembelajaran orang dewasa diperlukan untuk menambah pengalaman
peserta, pembelajaran orang dewasa harus disesuaikan dengan usia peserta, orang
dewasa tertantang untuk meningkatkan pengembangan pribadi, dan orang dewasa
memiliki banyak kemungkinan pilihan dan organisasi dalam program
pembelajarannya. Menurut Miller (1904), pelajar perlu diberikan motivasi untuk
mengubah tingkah laku yang inginkan dan tingkah laku yang tidak diinginkan, pelajar
diberikan kesempatan untuk mencoba tingkah laku yang baru, dan pelajar
memperoleh bahan-bahan yang sesuai untuk
membantu pembelajaran. Sedangkan menurut Gibb (1960), pelaksanaan pembelajaran berdasarkan pada
pemecahan masalah, pemusatan pengalaman peserta menjadi dasar pembelajaran
karena pengalaman yang dimiliki akan bermakna pada pelajar, dan tujuan
pembelajaran ditentukan oleh pelajar itu sendiri.
Berdasarkan
prinsip-prinsip yang diberikan oleh beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan
bahawa prinsip andragogi antara lain: (1) Pembelajaran adalah proses yang berkelanjutan,
orang dewasa merasakan keperluan dalam berbagai bidang keterampilan dan
pengalaman bagi kehidupan mereka; (2) Orang dewasa belajar dengan lebih baik
apabila mereka terlibat dalam proses merancang dan menilai keberhasilan
pembelajaran; (3) Orang dewasa memerlukan
bahan-bahan untuk membantu pembelajarannya sesuai dengan situasi pembelajaran.
4) Orang dewasa belajar dengan baik apabila mereka mempunyai motivasi untuk
berubah dan memiliki pengembangan diri.
Selanjutnya
Knowles (1990: 57-61) mengembangkan konsep andragogi atas 6 asumsi pokok antara
lain: mengetahui kebutuhan akan belajar, konsep diri, peranan pengalaman,
kesiapan belajar, orientasi belajar dan motivasi. Asumsi tersebut akan berbeda
antara pendidikan orang dewasa (andragogi) dan pendidikan untuk anak
(pedagogi). Berikut ini diuraikan asumsi-asumsi untuk andragogi adalah:
1.
Mengetahui
Kebutuhan
Asumsinya adalah orang dewasa harus mengetahui, mengapa mereka harus belajar
sesuatu sebelum mereka berusaha
mempelajarinya. Tugas utama fasilitator dalam pembelajaran adalah membantu
warga belajar untuk menyadari kebutuhan
akan pengetahuan tersebut. Fasilitator dapat mengemukakan alasan-alasan yang
yang nyata untuk mengembangkan keefektifan kualitas pembelajaran dan bagi
kehidupan warga belajar.
2. Konsep Diri
Asumsinya bahwa kesungguhan dan
kematangan diri seseorang bergerak dari ketergantungan total menuju ke arah
pengembangan diri sehingga mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dan mandiri.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa secara umum konsep diri anak-anak masih
tergantung sedangkan pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena
kemandirian inilah orang dewasa membutuhkan memperoleh penghargaan orang lain
sebagai manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri (Self Determination)
dan mampu mengarahkan dirinya sendiri (Self Direction).
Apabila orang dewasa tidak menemukan
dan menghadapi situasi dan kondisi yang memungkinkan timbulnya penentuan diri
sendiri dalam pembelajaran, maka akan menimbulkan penolakan atau reaksi yang
kurang menyenangkan. Orang dewasa juga mempunyai kebutuhan psikologis yang secara umum menjadi mandiri, meskipun dalam
situasi tertentu boleh jadi ada ketergantungan yang sifatnya sementara. Hal ini
menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pembelajaran, khususnya yang
berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran untuk membuat perubahan dari
cara belajar yang independen menuju kea rah belajar mandiri yang terarah.
3. Peranan Pengalaman
Asumsinya adalah bahwa sesuai dengan perjalanan waktu seorang
individu tumbuh dan berkembang menuju ke arah kematangan. Dalam perjalanannya,
seorang individu mengalami dan mengumpulkan berbagai pengalaman pahit-getirnya
kehidupan, dimana hal ini menjadikan seorang individu sebagai sumber belajar
yang demikian kaya, dan pada saat yang bersamaan individu tersebut memberikan
dasar yang luas untuk belajar dan memperoleh pengalaman baru. Oleh sebab itu,
dalam pembelajaran orang dewasa, terjadi penurunan penggunaan teknik
transmittal seperti yang dipergunakan dalam pembelajaran konvensional dan
menjadi lebih mengembangkan teknik yang bertumpu pada pengalaman. Dalam hal ini
dikenal dengan "Experiential Learning Cycle" (Proses Belajar
Berdasarkan Pengalaman).
Peranan pengalaman dalam kegiatan pembelajaran
membawa implikasi terhadap pemilihan dan penggunaan metoda dan teknik pembelajaran,
dalam praktek pembelajaran lebih banyak menggunakan diskusi kelompok, curah
pendapat, kerja laboratori, sekolah lapang, melakukan praktek dan lain
sebagainya, yang pada dasarnya berupaya untuk melibatkan peranserta atau
partisipasi warga belajar.
4.
Kesiapan Belajar
Asumsinya bahwa setiap individu
semakin menjadi matang sesuai dengan perjalanan waktu, maka kesiapan belajar
bukan ditentukan oleh kebutuhan atau paksaan akademik ataupun biologisnya,
tetapi lebih banyak ditentukan oleh tuntutan perkembangan dan perubahan tugas
dan peranan sosialnya. Pada
seorang anak belajar karena adanya tuntutan akademik atau biologiknya. Tetapi
pada orang dewasa siap belajar sesuatu karena tingkatan perkembangan mereka
yang harus menghadapi dalam peranannya sebagai pekerja, orang tua atau pemimpin
organisasi. Hal ini membawa implikasi terhadap materi pembelajaran yang
diberikan harus sesuai dengan kebutuhannya dan atau peranan sosialnya.
5.
Orientasi Belajar
Asumsinya
yaitu bahwa pada anak orientasi belajarnya seolah-olah sudah ditentukan dan
dikondisikan untuk memiliki orientasi yang berpusat pada materi pembelajaran (Subject
Matter Centered Orientation). Sedangkan pada orang dewasa mempunyai
kecenderungan memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan
permasalahan yang dihadapi (Problem Centered Orientation). Hal ini
dikarenakan belajar bagi orang dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan untuk
menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan keseharian, terutama
dalam kaitannya dengan fungsi dan peranan sosial orang dewasa.
Selain itu,
perbedaan asumsi ini disebabkan juga karena adanya perbedaan perspektif waktu.
Bagi orang dewasa, belajar lebih bersifat untuk dapat dipergunakan atau
dimanfaatkan dalam waktu segera. Sedangkan anak, penerapan apa yang dipelajari
masih menunggu waktu hingga dia lulus dan sebagainya. Sehingga ada
kecenderungan pada anak, bahwa belajar hanya sekedar untuk dapat lulus ujian
dan memperoleh sekolah yang lebih tinggi.
Hal in
menimbulkan implikasi terhadap sifat materi pembelajaran bagi orang dewasa,
yaitu bahwa materi tersebut hendaknya bersifat praktis dan dapat segera
diterapkan di dalam kenyataan sehari-hari.
6.
Motivasi
Asumsinya bahwa, orang dewasa akan mau belajar karena memperhatikan kepada
beberapa motivator eksternal antara lain pekerjaan lebih baik, promosi, gaji
lebih tinggi, dan semacamnya, motivator
yang paling kuat adalah tekanan dalam berupa keinginan untuk meningkatkan
kepuasan kerja, mengagumi diri sendiri, mutu hidup, dan semacamnya. Setiap
orang dewasa normal memiliki motivasi untuk tumbuh dan berkembang tetapi
motivasi tersebut sering dihalangi oleh konsep diri yang negatif akan
kemampuannya, peluang, sumber daya, batasan waktu dan program pembelajaran yang
tidak menganut prinsip belajar orang dewasa.
Untuk
membedakan antara asumsi-asumsi pembelajaran bagi orang dewasa(Andragogi) dengan
pembelajaran untuk anak didik (pedagogi), berikut ini diuraikan tentang asumsi-asumsi
pembelajaran pegagogi antara lain: (1) Mengetahui
kebutuhan, peserta didik mengganggap bahwa belajar adalah untuk bekal kehidupan
di kemudian hari, (2) Kosep diri, peserta didik digambarkan sebagai
seseorang yang bersifat tergantung, masyarakat mengharapkan para guru
bertanggung jawab sepenuhnya untuk menentukan apa yang harus dipelajari,
kapan, bagaimana cara mempelajarinya, dan apa hasil yang
diharapkan setelah selesai, (3) Peranan pengalaman, pengalaman yang dimiliki
oleh peserta didik tidak besar nilainya, mungkin hanya berguna untuk titik
awal, sedangkan pengalaman yang sangat besar adalah pengalaman-pengalaman yang
diperoleh dari gurunya, para penulis, produsen alat-alat peraga atau alat-alat
audio visual dan pengalaman para ahli lainnya. Oleh karenanya, teknik
penyampaian adalah berupa: ceramah,
tugas baca, dan penyajian melalui alat pandang dengar, (4) Kesiapan belajar,
anak didik harus siap mempelajari apapun, hal ini menimbulkan tekanan yang
cukup besar bagi mereka karena adanya perasaan takut gagal, anak-anak yang
sebaya diaggap siap untuk mempelajari hal yang sama pula, oleh karena itu
kegiatan belajar harus diorganisasikan dalam suatu kurikulum yang baku, dan
langkah-langkah penyajian harus sama bagi semua orang, (5) Orientasi belajar,
peserta didik menyadari bahwa pendidikan adalah suatu proses penyampaian ilmu
pengetahuan, dan mereka memahami bahwa ilmu-ilmu tersebut baru akan bermanfaat
di kemudian hari. Oleh karena itu, kurikulum harus disusun sesuai dengan
unit-unit mata pelajaran dan mengikuti urutan-urutan logis ilmu tersebut ,
misalnya dari kuno ke modern atau dari yang mudah ke sulit. Dengan demikian,
orientasi belajar ke arah mata pelajaran. Artinya jadwal disusun berdasarkan
keterselesaian nya mata-mata pelajaran yang telah ditetapkan, dan (6) Motivasi,
peserta didik memandang bahwa belajar adalah untuk mendapatkan kemampuan,
keterampilan untuk bekal kehidupan dengan upaya belajar untuk mendapatkan nilai sebaik mungkin.
F.
METODE PEMBELAJARAN DALAM ANDRAGOGI
Banyak metode
yang dapat diterapkan dalam pembelajaran orang dewasa. Untuk keberhasilan
pembelajaran, apapun metode yang diterapkan seharusnya mempertimbangkan faktor
sarana dan prasarana yang tersedia untuk mencapai tujuan akhir pembelajaran,
yakni agar peserta dapat memiliki suatu pengalaman belajar yang bermutu.
Merupakan suatu kekeliruan besar bilamana dalam hal ini, pembimbing secara
kurang wajar menetapkan pemanfaatan metode hanya karena faktor pertimbangannya
sendiri yakni menggunakan metode yang dianggapnya paling mudah, atau hanya
disebabkan karena keinginannya dikagumi oleh peserta di kelas itu ataupun
mungkin ada kecenderungannya hanya menguasai satu metode tertentu saja. Sejalan
dengan itu, menurut Lunandi dalam Suprijanto (2007:73), proses belajar dirinci menjadi
seperti terlihat dalam dalam kontium proses belajar sebagai berikut:
Penetapan pemilihan metode pembelajaran seharusnya
mempertimbangkan aspek tujuan yang ingin dicapai, yang dalam hal ini mengacu
pada garis besar program pengajaran yang dibagi dalam dua jenis:
1.
Rancangan proses untuk
mendorong orang dewasa mampu menata dan mengisi pengalaman baru dengan
mempedomani masa lampau yang pernah dialami, misalnya dengan latihan
keterampilan, melalui tanya jawab, wawancara, konsultasi, latihan kepekaan, dan
lain-lain, sehingga mampu memberi wawasan baru pada masing-masing individu
untuk dapat memanfaatkan apa yang sudah diketahuinya.
2.
Proses pembelajaran yang dirancang untuk
tujuan meningkatkan transfer pengetahuan baru, pengalaman baru, keterampilan
baru, untuk mendorong masing-masing individu orang dewasa dapat meraih
semaksimal mungkin ilmu pengetahuan yang diinginkannya, apa yang menjadi
kebutuhannya, keterampilan yang diperlukannya, misalnya belajar menggunakan
program komputer yang dibutuhkan di tempat ia bekerja.
Menurut Suprijanto (2007:86-87),
metode yang dapat digunakan dalam pendidikan orang dewasa antara lain: (1)
Penyajian Formal meliputi ceramah atau
kuliah, simposium, diskusi panel dan kolokium; (2) Teknik diskusi meliputi
diskusi terbuka, diskusi kelompok, tim pimpinan, sesi buzz, bermain peran, skit drama, curah pendapat, diskusi informal,
diskusi mangkuk ikan, debat, kelompok nominal, dan forum; (3) Demonstrasi dan
laboratorium meliputi demontrasi metode, demontrasi hasil, dan prosedur
laboratorium, (4) Widyawisata, (5) Audiovisual, dan (6) Komunikasi tertulis.
Pemilihan metode sangat penting dalam
pembelajaran orang dewasa, kemampuan orang dewasa belajar dapat diperkirakan
sebagai berikut: (a) 1% melalui indera perasa, (b) 1½ % melalui indera peraba,
(c) 3½% melalui indera penciuman, (d) 11% melalui indera pendengar, dan (e) 83%
melalui indera penglihat (Lunandi, 1987 dalam Asmin, 2006). Sejalan dengan itu,
orang dewasa belajar lebih efektif apabila ia dapat mendengarkan dan berbicara.
Lebih baik lagi kalau di samping itu ia dapat melihat pula, dan makin efektif
lagi kalau dapat juga mengerjakan. Komposisi kemampuan tersebut dapat dilukiskan
ke dalam piramida belajar (pyramida of learning)
metode ceramah, peserta hanya mendengarkan. Fungsi bicara hanya sedikit terjadi
pada waktu tanya jawab. Untuk metode diskusi bicara dan mendengarkan adalah
seimbang. Dalam pendidikan dengan cara demonstrasi, peserta sekaligus
mendengar, melihat dan berbicara. Pada saat latihan praktis peserta dapat
mendengar, berbicara, melihat dan mengerjakan sekaligus, sehingga dapat
diperkirakan akan menjadi paling efektif.
G.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES
PEMBELAJARAN ANDRAGOGI
1. Faktor Fisiologis
a.
Pendengaran
Kemampuan seseorang untuk
mendengarkan sesuatu dengan jelas dari sumber suara makin berkurang sejalan
dengan meningkatnya usia. Oleh karena itu,
sebaiknya penyajian informasi kepada orang dewasa disampaikan dengan
suara yang jelas, intonasi yang baik dan tidak terlalu cepat berkisar 80-100
kata per menit atau dengan bantuan pengeras suara
b.
Penglihatan
Kemampuan untuk melihat dengan
jelas bacaan atau tulisan mengalami penurunan sejalan dengan meningkatnya usia.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah intensitas cahaya yang cukup dalam
ruang belajar, bila menggunakan lampu sebaiknya 60-100 watt; bentuk tulisan,
jenis huruf Arial atau Time new roman apabila menggunakan
komputer, menggunakan ukuran huruf minimal 24 apabila dalam bentuk presentasi; jarak
tulisan, tulisan dalam bentuk naskah sebaiknya 1,5-2 spasi, letak papan tulis dengan
peserta didik berjarak maksimal 10 meter; serta kombinasi warna menggunakan
warna lembut dalam pembuatan peraga pembelajaran.
c.
Kondisi
Fisiologis
Kemampuan fisiologis seseorang
mengalami penurunan sejalan dengan meningkatnya usia, kondisi ini meliputi
kesegaran jasmani, keletihan, kurang tidur, kesakitan yang diderita. Kondisi
ini akan mempengaruhi proses interaksi belajar, oleh karena itu perlu
dipertimbangkan pemilihan strategi belajar yang bervariasi, penuh dengan
interaksi, membelajarkan dengan diselingi hiburan dan menggunakan media yang
tepat.
2. Faktor Psikologis
a.
Kecerdasan
Daya kecerdasan seseorang
dalam kaitannya dengan usia seperti yang dijelaskan oleh Copley, 1997 (Mappa,
1994:34) adalah bahwa daya kecerdasan seseorang meningkat secara tajam sejak
lahir hingga usia ± 20 tahun dan lalu mulai menurun pada usia 35-60 tahun,
kemudian menurun dengan agak tajam sejalan dengan mundurnya kesehatan seseorang
di usia tua.
b.
Motivasi
Motivasi adalah keadaan dalam
diri seseorang yang mendorongnya untuk bertindak melakukan sesuatu kegiatan
dalam rangka pencapaian tujuan, motivasi
dapat terjadi karena tumbuh dari dalam warga belajar sendiri dan timbul karena
rangsangan dari luar, motivasi seseorang ditentukan oleh kuat lemahnya
intensitas motif seseorang untuk melakukan kegiatan. Pemberian motivasi pada
warga belajar perlu di dilakukan dari awal hingga akhir kegiatan demi
tercapainya tujuan pembelajaran.
c.
Perhatian
Perhatian merupakan pemusatan
energi psikis yang dilakukan secara sadar terhadap sesuatu obyek atau materi
pelajaran, kegiatan yang disertai dengan perhatian yang intensif akan lebih
efektif dan efesien sehingga dapat mencapai prestasi yang tinggi hal ini dapat
dilakukan dengan membelajarkan melalui metode yang lain daripada biasanya, menggunakan
alat atau sumber belajar baru, mengaitkan pembelajaran dengan kebutuhan atau
kepentingan warga belajar.
d.
Berfikir
Berfikir merupakan suatu
kegiatan mental berupa pelukisan gagasan berdasarkan pengetahuan yang ada
dengan memperhitungkan hubungan sebab akibat yang dirangkaikan secara logis dan
rasional. Untuk meningkatkan kemampuan berfikir dapat dilakukan melalui
pemberian kesempatan untuk mengkaji permasalahan dan mengemukakan gagasan serta
beradu argumentasi tentang pembahasan suatu masalah yang sedang dipelajari.
e.
Ingatan
Mengingat merupakan kemampuan
untuk mengemukakan kembali pengetahuan atau pengalaman yang telah diperoleh di
masa lampau. Menurut yang dijelaskan oleh Kemble, 1956 (Mappa, 1994:42) bahwa seseorang
yang telah mempelajari sesuatu, setelah beberapa waktu kemudian tidak dapat
mengingat lagi secara keseluruhan yang pernah dipelajarinya, bagian yang masih
teringat makin lama makin berkurang, sedangkan yang tersisa masih dapat
teringat dalam waktu yang telatif lama. Untuk memaksimalkan kemampuan mengingat
dapat dilakukan melalui penggunaan metode belajar yang tepat, belajar secara
bertahap dan menggunakan teknik-teknik titian ingatan misalnya membuat pola,
bagan ikhtisar, menggabungkan huruf awal atau melagukan.
3. Faktor Lingkungan Belajar
a.
Didalam
Kelas
Keadaan suhu, kelembaban,
pertukaran udara, pencahayaan, tata ruang akan mempengaruhi efektifitas pembelajaran.
Penggunaan meja, kursi dan papan tulis yang mudah untuk dipindahkan atau beroda
akan memudahkan fasilitator dalam mengelola pembelajaran sehingga dengan mudah untuk mengubah transisi
yang diinginkan oleh fasilitator. Hubungan timbal balik yang akrab antar warga
belajar, antara warga belajar dengan fasilitator dapat merangsang kegiatan
pembelajaran.
b.
Diluar
Kelas
Lingkungan alam (topografi,
flora, fauna), lingkungan fisik (lapangan, bangunan, sanitasi), lingkungan
sosial (struktur sosial, adat-istiadat, budaya) akan menjadi sumber bahan
belajar dan sumber inspirasi bagi warga
belajar dan fasilitator dalam mengelola pembelajaran, akan tetapi
lingkungan yang bising, sanitasi yang
kurang baik akan mengganggu efektifitas pembelajaran.
4. Faktor Sistem Penyajian
a.
Kurikulum
Kompetensi yang akan dicapai
dan alokasi waktu yang telah ditetapkan dalam struktur kurikulum turut menentukan
pemilihan strategi belajar dan membelajarkan suatu mata pelajaran, adanya
struktur kurikulum dapat diketahui kedudukan dan peranan setiap mata pelajaran
dalam pembentukan kompetensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku.
b.
Bahan
Belajar
Bahan belajar yang akan
disajikan mempengaruhi dalam memilih jenis strategi belajar dan cara
membelajarkan yang akan digunakan, aspek-aspek bahan belajar yang perlu
dipertimbangkan adalah tingkat kemampuan yang akan dikembangkan, derajat
kesukaran bahan, jenis bahan telah dikenal oleh warga belajar atau belum, serta
luas dan jumlah bahan yang harus dipelajari.
c.
Metode
Penyajian
Metode penyajian berkaitan
erat dengan strategi kegiatan belajar yang akan dilaksanakan untuk mencapai
tujuan pembelajaran, metode penyajian yang dipilih hendaknya sesuai dengan
sifat dan hakikat tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, sesuai dengan sifat
dan hakikat bahan belajar yang disajikan, dan sesuai dengan tingkat
perkembangan belajar orang dewasa misalnya dengan diskusi atau pemecahan
masalah.
H.
KEBERHASILAN PEMBELAJARAN ANDRAGOGI
Dalam terminologi praktis, andragogi berarti pembelajaran untuk orang
dewasa yang harus memusatkan lebih pada
proses daripada pada materi yang sedang diajarkan (Knowles), strategi ini akan
lebih bermanfaat apabila melibatkan secara langsung kepada warga belajar dalam
kegiatan seperti studi kasus, memainkan peranan, simulasi, dan evaluasi diri. Dengan kata lain bahwa kegiatan belajar
berdasakan prinsip-prinsip andragogi dalam aplikasinya lebih banyak menekankan
pada hubungan secara langsung antar peserta serta menekankan pula pada tujuan
yang lebih khusus dari masing-masing kegiatan peserta. Dalam hal ini, instruktur diharapkan berperan
sebagai fasilitator atau nara sumber bukannya hanya pemberi ceramah.
Lebih
lanjut menurut Ivor K Davies dalam (Milan Riyanto. 2004) menyatakan bahwa keberhasilan
pendidikan orang dewasa dipengaruhi oleh faktor organisasional, belajar,
instruksional, dan personal. Faktor-faktor tersebut
dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Faktor
organisasional:
a.
Menata periode latihan ± 60 –
90 menit
b. Program pembelajaran diorientasikan pada
kompetensi dan pekerjaan
c. Mengatur peserta dalam kelompok belajar bersama yang heterogen
d.
Menyelaraskan antara
fasilitator dengan peserta
e.
Menghargai status dan
pengalaman orang dewasa
f.
Memperkuat dorongan emosional
dan semangat.
2. Faktor
belajar:
a.
Mengurangi penggunaan informasi
verbal dan hafalan
b.
Menghindari informasi yang
abstrak dan tidak relevan
c. Banyak mempergunakan cara belajar dalam bentuk praktik, pengkajian, dan konsolidasi
d.
Mengurangi campur tangan &
gangguan selama belajar
e.
Mengusahakan bahan belajar yang
berguna & relevan.
3. Faktor
instruksional:
a.
Mempergunakan metode penemuan
sendiri dalam belajar
b.
Menata sesi-sesi orientasi yang
cukup panjang
c.
Membatasi lingkup dan isi
materi pelajaran pada yang esensial
d.
Memperagakan secara
keseluruhan, kemudian per bagian, dan kembali secara keseluruhan
e.
Lebih menggunakan instruksi
tertulis daripada lisan dalam memberikan berbagai macam penugasan
f.
Menghindari penggunaan alat
bantu audiovisual yang memerlukan suatu logika atau urutan yang
berlainan
g.
Menghindarkan penggunaan
tes dan ujian yang bersifat formal, dan sebaliknya lebih diperbanyak penggunaan
penilaian yang kontinyu, (penilaian proses)
h.
Menggunakan metode pembelajaran
dan tugas-tugas yang lebih bervariasi.
4. Faktor
personal:
a.
Mengikutsertakan peserta dalam
proses penyusunan program pembelajaran
b.
Menghindari setiap hal yang
bersifat persaingan
c. Memberikan kesempatan
pada peserta untuk bergerak maju mengikuti proses sesuai tingkat kemampuan
masing-masing
d. Mendorong peserta untuk memprogram tujuan
belajar mereka dan bagaimana mencapai sasaran masing-masing
e.
Menjamin bahwa peserta merasa
dapat mencapai sasaran
f.
Melihat bahwa peserta belajar
secara tepat dan cermat sejak awal
g. Meningkatkan rasa kebersamaan dan
identitas kelompok.
I.
APLIKASI TEORI ANDRAGOGI DALAM
PEMBELAJARAN
Dalam
andragogi, peranan guru, pengajar atau pembimbing yang sering disebut dengan
fasilitator adalah mempersiapkan perangkat atau prosedur untuk mendorong dan
melibatkan secara aktif seluruh warga belajar, yang kemudian dikenal dengan
pendekatan partisipatif. Menurut Knowles dalam Mappa (1994:126),
prinsip-prinsip yang diterapkan dalam pembelajaran andragogi memiliki tujuh
tahap yaitu :
- Menciptakan
iklim dan suasana yang mendukung proses belajar mandiri.
- Menciptakan
mekanisme dan prosedur untuk perencanaan bersama dan partisipatif
- Diagnosis
kebutuhan-kebutuhan belajar yang spesifik
- Merumuskan tujuan-tujuan program yang
memenuhi kebutuhan-kebutuhan belajar
- Merencanakan pola pengalaman belajar
- Melakukan dan
menggunakan pengalaman belajar ini dengan metoda dan teknik yang memadai
- Mengevaluasi hasil
belajar dan mendiagnosis kembali kebutuhan-kebutuhan belajar.
Oleh karena itu dalam memproses interaksi
belajar orang dewasa, kegiatan dan peranan fasilitator bukanlah memindahkan
pengetahuan dan ketrampilan kepada peserta belajar. Peranan dan fungsi
fasilitator adalah mendorong dan melibatkan seluruh peserta dalam proses
interaksi belajar mandiri, yaitu proses belajar untuk memahami permasalahan
nyata yang dihadapinya, memahami kebutuhan belajarnya sendiri, dapat merumuskan
tujuan belajar, dan mendiagnosis kembali kebutuhan belajarnya sesuai dengan
perkembangan yang terjadi dari waktu ke waktu. Berikut ini diuraikan
langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam praktek proses pembelajaran andragogi
sebagai berikut:
1.
Menciptakan Iklim
Pembelajaran yang Kondusif
a. Pengaturan Lingkungan Fisik.
Pengaturan lingkungan fisik merupakan
salah satu unsur dimana orang dewasa merasa terbiasa, aman, nyaman dan mudah.
Untuk itu perlu dibuat senyaman mungkin antara lain: (1) Penataan dan peralatan
hendaknya disesuaikan dengan kondisi orang dewasa, (2) Alat peraga dengar dan
lihat yang dipergunakan hendaknya disesuaikan dengan kondisi fisik orang dewasa,
dan (3) Penataan ruangan, pengaturan meja, kursi dan peralatan lainnya
hendaknya memungkinkan terjadinya interaksi sosial
b. Pengaturan
Lingkungan Sosial dan Psikologis
Iklim
psikologis hendaknya merupakan salah satu faktor yang membuat orang dewasa
merasa diterima, dihargai dan didukun, antara lain : (1) Fasilitator lebih
bersifat membantu dan mendukung, (2) Mengembangkan suasana bersahabat, informal
dan santai melalui kegiatan Bina Suasana dan berbagai permainan yang sesuai,
(3) Menciptakan suasana demokratis dan kebebasan untuk menyatakan pendapat
tanpa rasa takut, (4) Mengembangkan semangat kebersamaan, dan (5) Menyusun
kontrak belajar yang disepakati bersama.
2. Mendiagnosis Kebutuhan Belajar
Dalam andragogi tekanan lebih
banyak diberikan pada keterlibatan seluruh warga belajar di dalam suatu proses melakukan diagnosis
kebutuhan belajarnya:
a. Melibatkan seluruh pihak terkait (stakeholder)
terutama pihak yang terkena dampak langsung atas kegiatan itu.
b. Membangun dan mengembangkan suatu model
kompetensi atau prestasi ideal yang diharapkan
c. Menyediakan berbagai pengalaman yang
dibutuhkan
d. Lakukan perbandingan antara yang
diharapkan dengan kenyataan yang ada, misalkan kompetensi tertentu
3.
Merencanakan
Pembelajaran Secara Bersama
Dalam perencanaan pembelajaran
hendaknya melibatkan semua pihak terkait, terutama yang akan terkena dampak
langsung atas kegiatan pembelajaran tersebut. Tampaknya ada suatu
"hukum" atau setidak tidaknya suatu kecenderungan dari sifat manusia
bahwa mereka akan merasa 'committed' terhadap suatu keputusan apabila mereka
terlibat dan berperanserta dalam pengambilan keputusan:
a. Libatkan peserta untuk menyusun rencana
pelatihan, baik yang menyangkut penentuan materi pembelajaran, penentuan waktu
dan lain-lain
b. Temuilah dan diskusikanlah segala hal
dengan berbagai pihak terkait menyangkut pelatihan tersebut
c. Terjemahkan kebutuhan-kebutuhan yang telah
diidentifikasi ke dalam tujuan yang diharapkan dan ke dalam materi pelatihan.
d. Tentukan pembagian tugas dan tanggung
jawab yang jelas di antara pihak terkait siapa melakukan apa dan kapan.
4. Memformulasikan Tujuan
Setelah menganalisis
hasil-hasil identifikasi kebutuhan dan permasalahan yang ada, langkah
selanjutnya adalah merumuskan tujuan yang disepakati bersama dalam proses
perencanaan partisipatif. Dalam merumuskan tujuan hendaknya dilakukan dalam
bentuk deskripsi tingkah laku yang akan dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan
tersebut di atas.
5. Mengembangkan Pola Pengalaman Belajar
Ini merupakan aspek seni dan
arsitektural dari perencanaan pembelajaran dimana harus disusun secara harmonis
antara beberapa kegiatan belajar seperti kegiatan diskusi kelompok besar,
kelompok kecil, urutan materi dan lain sebagainya. Dalam hal ini tentu harus
diperhitungkan pula kebutuhan waktu dalam membahas satu persoalan dan penetapan
waktu yang sesuai.
6. Menetapkan Materi dan Teknik Pembelajaran
Dalam menetapkan materi dan
metoda atau teknik pembelajaran hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a. Materi pembelajaran hendaknya ditekankan
pada pengalaman-pengalaman nyata dari peserta
b. Materi pembelajaran hendaknya sesuai
dengan kebutuhan dan berorientasi pada aplikasi praktis
c. Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya
menghindari teknik yang bersifat pemindahan pengetahuan dari fasilitator kepada
peserta
d. Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya
tidak bersifat satu arah namun lebih bersifat partisipatif.
7.
Mengevaluasi
Hasil Belajar dan Melakukan Diagnosis
Pendekatan evaluasi secara
konvensional (pedagogi) kurang efektif untuk diterapkan bagi orang dewasa.
Untuk itu pendekatan ini tidak cocok dan tidaklah cukup untuk menilai hasil belajar
orang dewasa. Ada beberapa pokok dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar bagi
orang dewasa yakni:
a. Evaluasi hendaknya berorientasi kepada
pengukuran perubahan perilaku setelah mengikuti proses pembelajaran
b. Sebaiknya evaluasi dilaksanakan melalui
pengujian terhadap dan oleh peserta itu sendiri (Self Evaluation)
c. Perubahan positif perilaku merupakan tolok
ukur keberhasilan
d. Ruang lingkup materi evaluasi
"ditetapkan bersama secara partisipatif" atau berdasarkan kesepakatan
bersama seluruh pihak terkait yang terlibat.
e. Evaluasi ditujukan untuk menilai
efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan program pembelajaran yang mencakup
kekuatan maupun kelemahan program
f. Menilai efektifitas materi yang dibahas
dalam kaitannya dengan perubahan sikap dan perilaku.
J.
RANGKUMAN
Andragogi sudah dikenal sejak tahun 1833 dan
mulai digunakan secara meluas sejak tahun 1980 setelah Malcom Knowles menulis bukunya
yang berjudul The Modern Practice of
Adult Education. Andragogy versus
pedagogy . Andragogi berasal dari bahasa Yunani kuno "aner",
dengan akar kata andr- yang berarti orang dewasa, dan agogos yang berarti
membimbing atau membina, andragogi berarti seni atau pengetahuan membimbing atau
memimpin atau mengajar orang dewasa.
Asumsi-asumsi
dalam pembelajaran menurut Knowles meliputi mengetahui kebutuhan akan belajar,
konsep diri, peranan pengalaman, kesiapan belajar, orientasi belajar dan
motivasi. Asumsi ini berbeda antara pembelajaran orang dewasa (andragogi)
maupun pembelajaran untuk anak didik (pedagogi)
Pembelajaran andragogi harus memusatkan lebih pada proses daripada pada
materi yang sedang diajarkan, kegiatan belajar berdasakan prinsip-prinsip
andragogi dalam aplikasinya lebih banyak menekankan pada hubungan secara
langsung antar peserta serta menekankan pula pada tujuan yang lebih khusus dari
masing-masing kegiatan peserta.
Keberhasilan
pembelajaran orang dewasa dapat dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor
eksternal, faktor internal bersumber dari dari dalam meliputi faktor fisiologis
seperti pendengaran, penglihatan, kondisi fisiologis dan faktor psikologis seperti kecerdasan,
motivasi, ingatan. Sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan alam, fisik
dan sosial serta faktor sistem penyajian meliputi kurikulum, bahan belajar dan
metode penyajian
Prinsip-prinsip
yang diterapkan dalam pembelajaran andragogi memiliki tujuh tahap yaitu : menciptakan
iklim dan suasana yang mendukung proses belajar mandiri, menciptakan mekanisme
dan prosedur untuk perencanaan bersama dan partisipatif, diagnosis kebutuhan-kebutuhan
belajar yang spesifik, merumuskan tujuan-tujuan program yang memenuhi
kebutuhan-kebutuhan belajar, merencanakan pola pengalaman belajar, melakukan
dan menggunakan pengalaman belajar ini dengan metoda dan teknik yang memadai,
dan mengevaluasi hasil belajar dan mendiagnosis kembali kebutuhan-kebutuhan
belajar.
REFERENSI
Asmin, (2006)
. Konsep dan Metode Pembelajaran Untuk
Orang Dewasa (Andragogi). Diambil
pada tanggal 15 Januari 2007, dari www.depdiknas.go.id/jurnal/34/konsep dan metode
pembelajaran .htm.
Cross, K.P. Adult
Learning. Diambil pada tanggal 16 Nopember 2006, dari http:// www.nl.edu/ace/
Resources/Dokuments/AdultLearning. html.
Knowles, M. (1990). The Adult Learner A Neglected Species (Fourth Edition). Houston : Gulf Publishsing
Company.
Knowles,
M. Andragogy. diambil pada tanggal 5
Januari 2007, dari http://tip.psychology. org/knowles. html.
Knowles,
M, Informal Adult Education, Self-Direction
and Andragogy, diambil pada tanggal 5 Januari 2007, dari http://www.infed.org/thinkers/et-knowl.htm.
Mappa,
S., Basleman, A. (1994). Teori Belajar
Orang Dewasa, Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan.
Dirjen Dikti, Depdikbud.
Mujiman, H. (2006). Manajemen
Pelatihan Berbasis Belajar Mandiri. Yogyakarta: Pustaka pelajar
Mukminan, dkk. (1998). Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta:
Pusat Pengembangan Pendidikan Profesi Guru, IKIP Yogyakarta .
Riyanto, M,. (2004). Andragogi
. Malang :
PPPG IPS dan PMP Malang
Suprijanto. (2007). Pendidikan
Orang Dewasa. Jakarta :
PT Bumi Aksara
…………. Memfasilitasi Pelatihan
Partisipatif Pengantar Pendidikan Orang Dewasa diambil pada tanggal 15 Januari
2007 dari, http://www.deliveri.org/Guidelines /how/hm14/
hm14_3i.htm.
………… 2006. Andragogi. diambil pada tanggal 10
Februari 2007 dari, http://www.pts. com.my/modules. php?name=News&file=print&
sid =343.
Zainudin Arif (1994). Andragogi.
Bandung :
Penerbit Angkasa