TEORI BELAJAR KULTURAL
PENGERTIAN DAN
PERKEMBANGAN TEORI KULTURAL
Teori
Kultural adalah cabang dari antropologi dan disiplin ilmu sosial yang
berhubungan, seperti sosiologi yang mencoba mendefinisikan konsep kebudayaan
dalam operasionalnya dan pola-pola ilmiah.
Pada
abad ke 19, kata “culture” (kebudayaan) ditujukan pada satu susunan kegiatan
manusia yang luas dan dikonotasikan dengan “civilization” (peradaban). Kemudian
para ahli antropologi mulai berteori di abad ke-20 yang mengemukakan bahwa kebudayaan
sebagai sebuah obyek analisa ilmiah. Sebagian orang menggunakan teori untuk
membedakan strategi penyesuaian diri manusia dengan strategi adaptasi yang dilakukan oleh
hewan. Sebagian yang lain menggunakan teori kultural untuk menyatakan ekspresi
dan gambaran secara simbolik pengalaman manusia dengan nilai adaptif secara
tidak langsung.
Menurut
sudut pandang ahli antropologi, kebudayaan menjadi sebuah bagian integral
tentang peradaban manusia dengan lingkungan. Oleh karena itu lingkungan
merupakan aspek perwujudan kebudayaan erat kaitannya dengan proses pembelajaran
bagi manusia.
Terry
Eagleton berpendapat dalam buku “After Theory” (2003) menyatakan bahwa teori
kultural memiliki potensi untuk menyatakan sesuatu yang penting tentang
‘pertanyaan fundamental’ dalam kehidupan, tetapi para pakar jarang menyadari
hal tersebut. Kemudian setelah pembelajaran budaya menjadi sebuah cabang
pengetahuan yang bersifat ilmiah, maka munculah teori kultural yang konsep-konsepnya digunakan dalam
pembelajaran.
TEORI-TEORI
PENDUKUNG PEMBELAJARAN KULTURAL
1. Teori
Piagetian,
Jean Piaget adalah
seorang psikolog yang sangat memperhatikan tentang perkembangan intelektual
anak mulai bayi sampai dewasa. Menurutnya ada tiga fungsi intelektual yaitu : (1)
Proses mendasar bagi terjadinya perkembangan kognitif, (2) Cara bagaimana
pembentukan pengetahuan, (3) Tahap-tahap perkembangan intelektual.
Perkembangan kognitif
merupakan suatu proses genetik, yaitu proses yang didasarkan atas mekanisme
biologis dalam bentuk perkembangan sistem syaraf. Makin bertambah umur, berarti
semakin kompleks susunan syarafnya dan semakin meningkat pula kemampuannya.
Kegiatan belajar terjadi seturut dengan pola tahap-tahap perkembangan umur
seseorang. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan, ia akan mengalami
adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya
perubahan-perubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya. Perolehan
kecakapan intelektual akan berhubungan dengan proses mencari keseimbangan antara
yang dirasakan dan diketahui pada sastu sisi dengan yang mereka lihat suatu
fenomena baru sebagai pengalaman atau persoalan.
Untuk memperoleh
keseimbangan atau ekuilibrasi, seseorang harus melakukan adaptasi dengan
lingkungannya. Proses adaptasi tersebut
mempunyai dua bentuk yang terjadi secara simultan, yaitu asimilasi dan
akomodasi. Melalui asimilasi (pembauran) siswa mengintegrasikan pengetahuan
baru dari luar ke dalam struktur kognitif yang telah ada dalam dirinya. Sedangkan melalui akomodasi ( penyesuaian
diri), siswa akan memodifikasi struktur kognitif yang ada dalam dirinya dengan
pengetahuan baru. Adaptasi akan terjadi jika telah terdapat keseimbangan di
dalam struktur kognitifnya. Perubahan struktur kognitif merupakan fungsi dari
pengalaman dan kedewasaan akan terjadi sesuai perkembangan. Sedangkan
prinsip-prinsip teori perkembangan menurut Piaget adalah sebagai berikut :
a. Teori perkembangan intelektual yang bertujuan untuk
menjelaskan mekanisme dari perkembangan individu mulai dari bayi, anak-anak,
sampai menjadi individu dewasa yang mampu bernalar dan berpikir menggunakan
hipotesa
b. Perkembangan genetika dalam organisme tertentu tidak
sepenuhnya dipengaruhi oleh sifat-sifat keturunan dan tidak terjadi karena
perubahan lingkungan, tetapi sangat dipengaruhi oleh proses interaksi antara
organisme dan lingkungan.
c. Kecerdasan adalah proses adaptasi terhadap lingkungan
dan membentuk struktur kognitif yang diperlukan dalam mengadakan penyesuaian
dengan lingkungan.
d. Hasil dari perkembangan intelektual adalah kemampuan
berpikir operasi formal.
e. Fungsi perkembangan intelektual menghasilkan struktur
kognitif yang kuat sehingga memungkinkan individu bertindak atas lingkungannya
dengan ketentuan dan berbagai macam cara.
f. Faktor yang mempengaruhi perkembangan perkembangan
intelektual adalah lingkungan fisik, kematangan, pengaruh sosial dan proses
pengetahuan diri.
Kemudian Piaget membagi tahap-tahap
perkembangan kognitif menjadi empat tahap yaitu :
- Tahap sensomotorik,
anak mengenal lingkungan dengan penglihatan, penciuman, pendengaran, dan
perabaan.
- Tahap pra
operasional, anak mengenalkan diri pada persepsi tentang realita. Ia telah
mampu menggunakan simbol bahasa, konsep secara sederhana. Misalnya :
membuat gambar dengan menggolongkan gambar-gambar tersebut.
- Tahap operasional
kongkrit, anak dapat mengembangkan pikiran logis. Ia dapat mengikuti
penalaran logis walau kadang-kadang dalam memecahkan masalah secara “trial and error”
- Tahap operasional
formal, anak dapat berpikir abstrak seperti orang dewasa.
Teori Jean Piaget ini mampu berkembang
luas dan merajai bidang psikologi dan pendidikan. Namun bila dicermati ada
beberapa aspek yang dipandang dapat menimbulkan implikasi kontraproduktif pada
kegiatan pembelajaran jika dilihat dari perspektif revolusi-sosiokultural saat
ini. Dari sisi locus of cognitive
development atau asal-usul pengetahuan, Piaget cenderung menganut teori
psikogenesis. Artinya, pengetahuan berasal dari dalam individu. Dalam proses
belajar siswa berdiri terpisah dan berinteraksi dengan lingkungan sosial. Ia
mengkonstruksi pengetahuan lewat tindakan yang dilakukannya terhadap lingkungan
sosial. Kemampuan menciptakan makna atau pengetahuan baru lebih ditentukan oleh
kematangan biologis individu. Mnurut Piaget, dalam fenomena belajar lingkungan
sosial hanya berfungsi sekunder, sedangkan faktor utama yang menentukan
terjadinya belajar tetap pada individu yang bersangkutan. Daniel, Tweed dan
Lehman mengatakan bahwa teori belajar semacam ini lebih mencerminkan ideologi
individualisme dan gaya belajar Sokratik yang lasim dikaitkan dengan budaya
Barat yang mengunggulkan “self-generated
knowledge” atau “individualistic
pursuit of truth” yang dipelopori oleh Sokrates.
Pendapat Piaget jika diterapkan dalam
kegiatan pendidikan dan pembelajaran di era sekarang ini kurang sesuai dengan
perspektif revolusi sosiokultural yang sedang diupayakan. Sebab teori Piaget
lebih memntingkan interaksi antara siswa dengan kelompok sebayanya daripada
dengan orang-orang yang lebih dewasa.
2. Teori Cronbach,
Pandangan teori belajar
dan pembelajaran yang dikemukakan oleh Cronbach dikenal sebagai teori “Total Immersion” atau keikutsertaan secara total. Artinya,
seorang individu dalam kegiatan belajar dan pembelajaran menggunakan panca
inderanya (misalnya : melihat, mendengar, merasakan, mencium, dan berbicara)
sebagai proses penyerapan pengetahuan sehingga proses pembelajaran terjadi
lebih cepat. Beliau juga menyatakan bahwa belajar sebagai aktifitas yang
ditunjukkan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
Pendapat Cronbach ini
dapat diartikan pula bahwa belajar adalah proses dimana tingkah laku (dalam
arti luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan. Hakekat
belajar adalah perubahan tingkah laku, maka ada beberapa perubahan tertentu
yang dimasukan ke dalam ciri-ciri belajar, yaitu : (1) perubahan yang terjadi
secara sadar, (2) perubahan dalam belajar bersifat fungsional, (3) perubahan
belajar bersifat positif dan aktif, (4) perubahan dalam belajar bukan bersifat
sementara, dan (5) perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah. Walaupun
belajar dikatakan berubah namun untuk mendapatkan perubahan itu bermacam-macam
caranya. Setiap perbuatan belajar mempunyai ciri-ciri di dalamnya, mencoba
membagi jenis-jenis belajar yang antara lain belajar arti kata-kata, belajar
kognitif, belajar menghafal, belajar teoretis, belajar kaidah, belajar
konsep/pengertian, belajar keterampilan motorik, dan belajar estetik.
3. Teori Vygotsky,
Pandangan atau pendapat
yang mampu mengakomodasi sosiokultural dalam teori belajar dan pembelajaran
adalah pandangan yang dikemukakan oleh Lev Vygotsy. Secara sederhana namun
bermakna beliau mengatakan bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari
latar sosial-budaya dan sejarahnya. Artinya, untuk memahami pikiran seseorang bukan
dengan cara menelusuri apa yang ada dalam otaknya dan kedalaman jiwanya,
melainkan dari asal-usul tindakan sadarnya dari interaksi sosial yang dilatari
oleh sejarah hidupnya.. Peningkatan fungsi-fungsi mental seseorang berasal dari
kehidupan sosial atau kelompoknya, dan bukan dari individu itu sendiri.
Interaksi sosial demikian antara lain berkaitan erat dengan aktivitas-aktivitas
dan bahasa yang dipergunakan. Kunci utama untuk memahami proses sosial dan
psikologis adalah tanda atau lambang yang berfungsi sebagai mediator. Sedangkan
tanda-tanda tersebut merupakan produk dari lingkungan sosio-kultural dimana
seseorang berada.
Menurut Moll, mekanisme
teori yang digunakan untuk menspesifikasikan hubungan antara pendekatan
sosiokultural dan pemfungsian mental didasarkan pada tema mediasi semiotik,
yang artinya adalah tanda-tanda atau lambang-lambang beserta makna yang
terkandung di dalamnya berfungsi sebagai penengah antara rasionalitas dalam
pendekatan sosio-kultural dan manusia sebagai tempat berlangsungnya proses
mental.
Vygotsky dalam Moll
(1994) melakukan studi etnografi dan menemukan adanya jaringan-jaringan erat,
luas, dan kompleks dalam keluarga. Jaringan-jaringan tersebut berkembang atas
dasar confianza yang membentuk
kondisi sosial sebagai tempat penyebaran dan pertukaran pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai sosial budaya. Anak memperoleh pengetahuan dan
keterampilan melalui interaksi sehari-hari. Ia terlibat secara aktif
berinteraksi dengan keluarga untuk memperoleh maupun menyebarkan pengetahuan
yang dimiliki. Jadi dalam keluarga ini akan terjadi kerja sama diantara anggota
keluarga.
Pengetahuan dan
perkembangan kognitif individu seturut dengan teori sociogenesis. Dimensi kesadaran sosial bersifat primer, sedangkan
dimensi individualnya bersifat derivatif atau merupakan turunan dan bersifat
sekunder. Hal ini berarti bahwa pengetahuan dan perkembangan kognitif individu
berasal dari sumber-sumber sosial di luar dirinya. Namun demikian individu
bukan berarti bersikap pasif dalam perkembangan koginifnya, tetapi Vygotsky
juga menekankan pentingnya peran aktif seseorang dalam mengkonstruksi
pengetahuannya. Oleh sebab itu pendapat Vygotsky sebenarnya lebih tepat disebut
dengan pendekatan kokonstruktivisme, yang
maksudnya perkembangan kognitif seseorang disamping ditentukan oleh individu
sendiri secara aktif, tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang aktif
pula.
- Hukum genetik
tentang perkembangan (genetic law of
development)
Vygotsky berpendapat
bahwa kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang melalui dua tataran yaitu
: (1) tataran sosial tempat orang-orang membentuk lingkungan sosial (dapat
dikategorikan sebagai interpsikologis atau intermental), dan (2) tataran
psikologis di dalam diri orang yang bersangkutan (dapat dikategorikan sebagai
intrapsikologis atau intramental). Pandangan ini menempatkan lingkungan sosial
sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan serta
perkembangan kognitif seseorang. Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi dalam
diri seseorang akan muncul dan berasal dari kehidupan sosialnya. Sedangkan
fungsi psikologis dipandang sebagai derivasi atau keturunan yang tumbuh atau
terbentuk melalui penguasaan dan internalisasi terhadap proses-proses sosial.
Dalam berpartisipasi
kegiatan sosial, seorang individu pada mulanya belum memahami maknanya.
Pemaknaan atau konstruksi pengetahuan akan muncul setelah melalui proses
internalisasi yang bersifat transformatif. Artinya bahwa individu mampu
memunculkan perubahan dan perkembangan yang tidak sekedar berupa transfer atau
pengalihan. Oleh karena itu belajar dan berkembang adalah merupakan kesatuan
yang saling menentukan.
- Zona perkembangan
proksimal (zone of proximal
development)
Menurut Vygotsky
perkembangan kemampuan seseorang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : (1)
tingkat perkembangan aktual, dan (2) tingkat perkembangan potensial.
Tingkat perkembangan aktual tampak dari kemampuan seseorang dalam
meyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan persoalan secara mandiri. Sedangkan
tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk
menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika di bawah bimbingan
orang dewasa atau merupakan kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten.
Jarak antara tingkat perkembangan aktual dengan tingkat perkembangan potensial ini
disebut zona perkembangan proksimal.
Zona perkembangan
proksimal diartikan sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan-kemaouan yang belum
matang dan masih dalam proses pematangan. Pematangan akan terjadi setelah
melalui proses interaksi dengan orang dewasa atau dengan teman sebaya yang
lebih kompeten. Tafsiran konsep zona perkembangan proksimal ini dengan
menggunakan scaffolding interpretation, yang
maksudnya memandang zona perkembangan proksimal sebagai ‘batu loncatan’ untuk
mencapai taraf perkembangan yang semakin tinggi.
Zona perkembangan
proksimal yang dikemukakan oleh Vygotsky ini mendasari perkembangan teori
belajar dan pembelajaran untuk meningkatkan kualitas dan mengoptimalkan
perkembangan kognitif anak. Perkembangan dan belajar bersifat interpenden atau
saling terkait. Kemampuan seseorang
bersifat context dependent atau tidak
dapat dipisahkan dari konteks sosial.
Berpijak pada konsep
zona perkembangan proksimal ini, sebelum terjadi internalisasi dalam diri anak,
orang dewasa atau teman sebaya yang lebih kompeten perlu membantu dengan
berbagai cara seperti memberikan contoh, feedback
, menarik kesimpulan dan sebagainya.
- Mediasi,
Kunci utama untuk
memahami proses-proses sosial dan psikologis adalah tanda-tanda atau
lambang-lambang yang berfungsi sebagai mediator. Tanda-tanda atau
lambang-lambang tersebut merupakan produk dari lingkungan sosio-kultural dimana
seseorang berada. Semua perbuatan atau proses psikologis yang khas manusiawi
dimediasikan dengan psychological tools
atau alat-alat psikologis berupa bahasa, tanda dan lambang, atau semiotika.
Dalam kegiatan
pembelajaran, alat-alat psikologis berfungsi sebagai mediator bagi proses
psikologis yang lebih lanjut dalam diri anak. Mekanisme hubungan antara
pendekatan sosiokultural dan fungsi-fungsi mental didasari oleh tema mediasi
semiotik, artinya tanda atau lambang beserta makna yang terkandung di dalamnya
berfungsi sebagai penghubung rasionalitas sosio-kultural dengan individu
sebagai tempat berlangsungnya proses mental.
Mediasi dapat dibedakan
menjadi dua jenis yaitu : (1) mediasi metakogintif, dan (2) mediasi kognitif.
Mediasi metakognitif adalah penggunaan alat-alat semiotik yang bertujuan
untuk melakukan self- regulation atau regulasi diri yang meliputi self-monitoring, self-checking, dan self-evaluting. Mediasi metakognitif ini
berkembang dalam komunikasi antar pribadi. Orang dewasa atau teman sebaya yang
lebih kompeten biasa menggunakan alat-alat semiotik untuk membantu mengatur
tingkah laku anak yang pada tahap selanjutnya anak akan menginternalisasikan
alat-alat semiotik ini untuk dijadikan sarana regulasi diri.
Mediasi kognitif adalah
penggunaan alat-alat kognitif untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan
pengetahuan tertentu atau subject-domain
problem. Mediasi kognitif dapat berkaitan dengan konsep spontan yang
mungkin terjadi kesalahan dan konsep ilmiah yang lebih terjamin kebenarannya.
Konsep-konsep ilmiah yang berhasil diinternalisasikan anak akan berfungsi
sebagai mediator dalam pemecahan masalah. Konsep ilmiah berbentuk pengetahuan
deklaratif dan pengetahuan prosedural yang berupa metode untuk memecahkan
masalah.
Menurut Vygotsky, untuk
membantu anak dalam mengembangkan pengetahuan yang sungguh-sungguh bermakna
dengan cara memadukan antara konsep dan prosedur melalui demontrasi dan praktek
sehingga diperoleh keuntungan sebagai berikut :
·
Anak memperoleh
kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau
potensinya melalui belajar dan berkembang
·
Pembelajaran
perlu dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya daripada tingkat
perkembangan intelektualnya.
·
Pembelajaran
perlu diarahkan pada penggunaaan strategi untuk mengembangkan kemampuan
intermentalnya daripada kemampuan intramentalnya.
·
Anak diberi
kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah
dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural yang dapat digunakan untuk
melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah.
·
Proses belajar
dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih merupakan kokonsstruksi, yaitu suatu proses
mengkonstruksi pengetahuan atau makna baru secara bersama-sama antara semua
pihak yang terlibat di dalamnya.
APLIKASI
TEORI BELAJAR KULTURAL DALAM PEMBELAJARAN
1. Pada setiap perencanaan dan implementasi pembelajaran,
perhatian guru harus dipusatkan kepada kelompok anak yang tidak mampu
memecahkan masalah belajar sendiri, yaitu guru harus menyediakan berbagai jenis
dan tingkatan bantuan dan membimbing atau membantu agar siswa mampu memecahkan
permasalahan belajar. Bantuan-bantuan tersebut dapat dalam bentuk pemberian
contoh-contoh, petunjuk mengerjakan, alur, langkah-langkah atau prosedur
melakukan tugas, dan sebagainya
2. Bimbingan dari orang dewasa atau teman sebaya yang
lebih kompeten sangat efektif untuk meningkatkan produktifitas belajar.
Bimbingan tersebut bermanfaat untuk memahami alat-alat semiotik, seperti
bahasa, tanda, dan lambang-lambang.
3. Kelompok anak yang belum mampu memecahkan masalah
meskipun telah mendapatkan bantuan, perlu diturunkan ke kelompok yang lebih
rendah kesiapan belajarnya, sehingga ketika diturunkan mereka juga berada pada zone of proximal development-nya
sendiri, sehingga anak siap memanfaatkan bantuan yang disediakan. Begitu juga
sebaliknya, bagi anak yang telah mampu memecahkan permasalahan harus ditingkatkan
tuntutannya, sehingga tidak perlu buang-buang waktu dengan tagihan belajar yang
sama bagi kelompok anak yang berada di level bawahnya.
4. Pemahaman karakteristik siswa yang berhubungan dengan
sosio-kultural dan kemampuan awalnya sebagai pijakan dalam pembelajaran perlu
dicermati artikulasinya, sehingga dapat dihasilkan perangkat lunak pembelajaran
yang benar-benar menantang namun tetap produktif dan kreatif.
RANGKUMAN
Pendekatan
kognitif dalam belajar dan pembelajaran yang dikemukan oleh piaget yang berkembang
ke dalam aliran konstruktivistik masih dirasakan kelemahannya. Teori ini
menimbulkan implikasi kontraproduktif dalam kegiatan pembelajaran, karena lebih
mencerminkan individualisme dan gaya belajar yang Sokratik yang lazim dikaitkan
dengan budaya barat.
Begitu
juga dengan pandangan Cronbach, teori ini terlalu banyak memiliki dimensi.
Sehingga pendekatan dalam belajar dan pembelajaran tidak terstruktur,
operasionalnya kurang terarah, dan fokus tujuan pembelajaran menjadi kabur.
Pendekatan
yang lebih mampu mengakomodasi kebutuhan belajar dan pembelajaran dewasa ini
adalah teori yang dikemukakan oleh Vygotsky. Teori ini memandang bahwa
peningkatan fungsi-fungsi mental seseorang berasal dari kehidupan sosial atau
kelompoknya, dan bukan sekedar dari individu itu sendiri. Konsep genetic low of development, zona of proximal
development, dan mediasi, mampu membuktikan bahwa jalan pikiran seseorang
harus dimengerti dari latar sosial-budaya
dan sejarahnya. Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif
seseorang seturut dengan teori sociogenesis
yang menempatkan dimensi kesadaran sosial bersifat primer sedangkan dimensi
individual bersifat sekunder.Dalam kegiatan pembelajaran anak memperoleh kesempatan yang luas untuk
mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau potensinya melalui belajar
dan berkembang. Guru perlu menyediakan berbagai tingkatan bantuan yang
memfasilitasi anak agar mampu memecahkan masalahnya sesuai dengan potensi yang
dimiliki anak.
REFERENSI
Paulina, Panen. dkk . Belajar dan Pembelajaran I. Jakarta :
Pusat Penerbitan Universitas Terbuka
Mukminan. dkk . 1998. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta :
Pusat Pengembangan Pendidikan Profesi Guru IKIP Yogyakarta
Budiningsih, C. Asri. 2003. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta :
UNY
--------------Kontribusi Intelegensi dan Kemandirian Belajar terhadap Hasil Belajar.
WWW.geocities.com/guruvalahTe
------------2003. Teaching and Learning about Racial Issues in the Modern Classroom. www.
ogrant@iusb.edu