18 Apr 2017

Taman Belajar & Bermain

Tren fasilitas hotspot gratis telah hadir di sekolah-sekolah. Perangkat keras yang berhubungan dengan internet dan gadget telah berubah menjadi gaya hidup dalam kalangan remaja. Pelajar/mahasiswa terbiasa mengunjungi alamat situs seiring tuntutan standar kompetensi di kampusnya.  Disatu sisi transfer pengetahuan menjadi lebih mudah.  Pelajar dapat Kapan saja karena materi siap 24 jam, dimanapun asal dapat koneksi internet, variatif (variasi materi dari bermacam-macam referensi) dan harga lebih terjangkau daripada membeli buku.
Sadar atau tidak sadar, penggunaan internet telah menjadi gaya hidup dan cara belajar siswa. Dewasa ini, terjadi perubahan dalam dunia pengajaran. Dari budaya materi apa yang akan dipelajari menjadi menjadi budaya bagaimana cara mempelajarinya. Ini membawa konsekuensi terhadap guru untuk cerdas membaca peluang. Bagaimana cara mengaktifkan siswa untuk bersungguh-sungguh dalam mendalami materi, atau siswa aktif mengajukan pertanyaan untuk mengetahui lebih dalam tentang suatu materi.
Sebenarnya, salah satu modal yang belum banyak dimanfaatkan adalah interkoneksi sumber daya pendidikan. Masing-masing sumber daya pendidikan di sekolah ataupun masyarakat pendidik, Pemerintahan Lokal (RT/RW), lembaga kursus, LSM, Perguruan Tinggi, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat, dan keluarga (termasuk orangtua) pasti mempunyai kelebihan. Kesadaran pemanfaatan bersama sumber daya mendidik dalam interkoneksi akan menambah daya tarik belajar siswa. Mereka dapat duduk bersama untuk saling mengisi dalam sebuah produk (media belajar), Kegiatan (pelatihan atau short course)
Mengingat, proses belajar tidak hanya terjadi di sekolah saja. Pendidikan dapat dilakukan dengan teman sebaya, orangtua, atau lembaga kursus/pengajian. Dimanapun terjadi interaksi komunikasi maka akan ada proses pembelajaran didalamnya. Kesadaran pemanfaatan interkoneksi sumber daya pendidikan adalah penting dan mendesak bagi semua pihak.
Kesadaran peran serta keluarga disekitar kita masih rendah.  Keluarga dan masyarakat lokal pada umumnya banyak belum terlibat. Padahal, kesempatan mendidik anak tersedia luar biasa dalam keluarga dan masyarakat lokal. Interkoneksi membangun kesadaran iklim belajar yang kondusif dan menstimulus anak belajar memerlukan kerjasama semua pihak.
Interkoneksi sekolah, keluarga, pemegang kebijakan masyarakat lokal/RT/RW, dan Penyedia layanan IT atau stake holder swasta lainnya yang terkait. Orangtua dengan menggunakan seluler/hand phone dapat mengecek kehadiran atau ikut memantau nilai anaknya yang sedang kuliah/sekolah. Administrasi sekolah berbasis IT memungkinkan ketersediaan ketepatan dan kecepatan data. Satu hal lain yang berkaitan dengan penyediaan hardware terjangkau sekolah/madrasah oleh pihak penyedia layanan IT yang relative sangat mahal.
Tersedianya jasa e-learning, sms gateway, presensi sidik jari bagi anak, guru dan staf, sistem manajemen dan informasi akademik, dan multimedia yang murah dan terjangkau khusus dalam dunia pendidikan. Keterlibatan tim penjaminan mutu yang independen untuk mengontrol sistem dan peraturan. Keterlibatan masyarakat lokal dengan berakar pada basis fungsi keluarga (fungsi kasih sayang, fungsi mendidik, fungsi ekonomi, fungsi kesehatan) melalui kegiatan-kegiatan jam belajar mampu menstimulus atau menciptakan iklim belajar yang kondusif, misalnya dengan menyediakan sarana pos perpustakaan dan ronda jam belajar masyarakat  dengan memantau tamu pada saat jam belajar masyarakat berlangsung. Keluarga dalam lingkup RT dapat melakukan sambung rasa dalam kegiatan jam belajar masyarakat.
Waktu belajar anak lebih banyak di keluarga dibandingkan di sekolah. Menurut Permendiknas No 22 tahun 2006 tentang Standar  Isi pada tabel tabel 25 tentang Beban Belajar Kegiatan Tatap Muka Keseluruhan untuk setiap Satuan Pendidikan per tahun (@60 menit) disebutkan untuk SD/MI/SDLB: Kelas I s.d. III adalah 516-621 jam; kelas IV s.d. VI adalah 635-709, untuk SMP/MTs/SMPLB adalah 725-811 jam. Sebagai contoh Kegiatan Tatap Muka Keseluruhan untuk setiap Satuan Pendidikan per tahun untuk SMP/MTs/SMPLB yang maksimal dalam satu tahun belajar di sekolah sebanyak 811 (@60 menit) yang berarti lebih kurang setara dengan 2 bulan maka siswa belajar di luar sekolah lebih kurang 10 bulan.  Hal ini berarti kegiatan belajar paling banyak ada di luar sekolah atau saat siswa berada di masyarakat/keluarga.
Sekolah dapat berbagi dan saling membangun dengan sekolah lain. Mungkin sekolah lain unggul dalam kejelasan fiture-nya atau sekolah lain unggul dalam content maka alangkah beruntungnya terwujud lingkungan yang serba memberi dan menguntungkan. Keadaan belajar seperti ini juga akan mengajarkan siswa untuk hidup bekerjasama. Hidup saling tolong menolong dan melengkapi. Indahnya persatuan akan terasa ketika kita terhubung dalam kebaikan dengan yang lain.

Kesempatan mendidik datang berkali-kali bagi mereka yang siap untuk melakukan hal tersebut. Belajar menurut hemat penulis, esensinya adalah perubahan yang relative tetap sedangkan mengajar esensinya adalah manajemen agar terjadi perubahan sesuai targetnya. Maka interkoneksi adalah salah satu modalnya. Keterlibatan dan interkoneksi semua pihak yang terkait dalam pendidikan dapat membawa tingginya kualitas SDM Indonesia dan membawa persatuan dan kesatuan bangsa yang berkeadilan sosial. Amiin

Bulan Syaban

إنَّ الحَمْدَ لله، نَحْمَدُه، ونستعينُه، ونستغفرُهُ، ونعوذُ به مِن شُرُورِ أنفُسِنَا، وَمِنْ سيئاتِ أعْمَالِنا، مَنْ يَهْدِه الله فَلا مُضِلَّ لَهُ، ومن يُضْلِلْ، فَلا هَادِي لَهُ.
أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hari demi hari kita lalui, hingga kita bertemu dengan Jum'at kembali. Sebuah hari yang agung, sayyidul ayyam, yang penuh dengan berkah dari Allah SWT. Maka keimanan yang dianugerahkannya kepada kita, ditambah dengan kesehatan yang kita miliki merupakan nikmat yang luar biasa besarnya. Terhadap segala nikmat yang dianugerahkan Allah Azza Wa Jalla, berlaku sebuah kaidah pelipatgandaan. Syaratnya: mensyukuri nikmat-nikmat itu.
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. (QS. Ibrahim : 7)

Hari ini kita tengah berada di pertengahan bulan Syaban. Ini artinya, tidak lama lagi kita akan berjumpa dengan tamu agung, tamu istimewa yaitu; Ramadhan yang mulia.

Doa yang menyadarkan kita betapa orang-orang shalih terdahulu biasa menyambut Ramadhan jauh-jauh hari sebelumnya; bahkan ketika masih berada di bulan Rajab. Maka, semangat menyambut Ramadhan itulah yang juga harus ada dalam jiwa kita, bahwa di pertengahan syaban  ini, kita telah menyediakan ruang suka cita dalam dada kita untuk bertemu dengan Ramadhan. Dan dengan persiapan sejak bulan syaban itulah maka kemudian Ramadhan benar-benar menjadi bulan yang istimewa karena bisa dimanfaatkan dengan optimal

Lalu bagaimana bentuk penyambutan kita kepada Ramadhan, khususnya Ramadhan yang akan datang?
Bagi muslim yang ideal, menyambut Ramadhan adalah sebuah kenikmatan tersendiri, namun ia menyambutnya dengan proporsional. Dalam suka cita, ia mempersiapkan diri sebaik-baiknya sehingga bisa beramal di bulan Ramadhan dengan sebaik-baiknya.
Ada lebih kurang empat persiapan yang kita perlukan dalam menyambut bulan Ramadhan, khususnya Ramadhan ini:

Pertama, persiapan ruhani
Persiapan ruhiyah yang kita perlukan adalah dengan cara membersihkan hati dari penyakit aqidah sehingga melahirkan niat yang ikhlas.
Allah SWT menegaskan pentingnya membersihkan hati (tazkiyatun nafs) dalam firman-Nya:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya (QS. Asy-Syams : 9)
Maka dalam waktu satu setengah bulan ke depan kita perlu melakukan evaluasi diri, muhasabah, apakah penyakit-penyakit aqidah masih bersarang dalam diri kita. Sungguh sangat rugi, jika kita susah payah beramal, namun masih ada kesyirikan yang bersemayam dalam diri kita. Tak peduli sebesar apapun amal kita, jika kita syirik, menyekutukan Allah, maka amal-amal kita tidak akan diterima.
Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Al Zumar: 65)

Setelah melakukan muhasabah, selanjutnya kita bermujahadah atau bersungguh-sungguh untuk menghilangkan penyakit-penyakit itu. Alangkah indahnya saat Ramadhan tiba dan kita benar-benar dalam kondisi ikhlas menapaki hari-hari istimewa yang dibawa oleh tamu mulia itu.
Saat-saat keikhlasan bersenyawa dalam diri kita sepanjang Ramadhan merupakan saat-saat terbaik yang akan menjamin kita memperoleh ampunan Allah SWT.
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
persiapan kedua dalam menyambut Ramadhan adalah persiapan fikriyah.

Agar Ramadhan kita benar-benar efektif, kita perlu membekali diri dengan persiapan fikriyah. Sebelum Ramadhan tiba sebaiknya kita telah membekali diri dengan ilmu agama terutama yang terkait secara langsung dengan amaliyah di bulan Ramadhan. Tentang kewajiban puasa, keutamaan puasa, hikmah puasa, syarat dan rukun puasa, hal-hal yang membatalkan puasa, serta sunnah-sunnah puasa. Juga tarawih, i'tikaf, zakat, dan sebagainya.

Inilah rahasia mengapa Imam Bukhari membuat bab khusus dalam Shahih-nya dengan judul Al-Ilmu Qabla Al-Qaul wa Al-Amal (Ilmu sebelum Ucapan dan Amal). Tanpa ilmu bagaimana kita bisa beramal selama bulan Ramadhan dengan benar ?
Pemahaman ilmu syar'i ini juga merupakan tanda kebaikan yang dikehendaki Allah terhadap seseorang. Karenanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

Barangsiapa yang dikehendaki Allah akan kebaikan maka ia difahamkan tentang (ilmu) agama(Muttafaq 'Alaih)
Persiapan ketiga dalam menyambut Ramadhan adalah persiapan jasadiyah.Ramadhan membutuhkan persiapan jasadiyah yang baik. Tanpa persiapan memadai kita bisa terkaget-kaget bahkan ibadah kita tidak bisa berjalan normal. Ini karena Ramadhan menciptakan siklus keseharian yang berbeda dari bulan-bulan sebelumnya. Kita diharapkan tetap produktif dengan pekerjaan kita masing-masing meskipun dalam kondisi berpuasa. Kita juga akan melakukan ibadah dalam porsi yang lebih lama dari sebelumnya. Shalat tarawih, misalnya.

Karenanya kita perlu mempersiapkan jasadiyah kita dengan berolah raga secara teratur, menjaga kesehatan badan, dan kebersihan lingkungan. Di sini, logika akal bertemu dengan keutamaan syar'i dalam hadits nabi:
Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah (HR. Muslim)

Persiapan keempat dalam menyambut Ramadhan adalah persiapan maliyah, persiapan harta.
Persiapan maliyah yang diperlukan dalam menyambut bulan Ramdhan bukanlah untuk membeli baju baru, menyediakan kue-kue lezat untuk Idul Fitri, dan lain-lain. Kita justru memerlukan sejumlah dana untuk memperbanyak infaq, memberi ifthar (buka puasa) orang lain dan membantu orang yang membutuhkan. Tentu saja bagi yang memiliki harta yang mencapai nishab dan haul wajib mempersiapkan zakatnya.
Jama'ah jum'at yang dirahmati Allah,
Salah satu tuntunan Allah SWT adalah mensegarakan amal kebaikan dan upaya mendapatkan ampunan. Sebagaimana firman-Nya:

Dan bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga-Nya yang luasnya seluas langit dan bumi; disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa. (QS. Ali Imran : 133)
Maka demikian pula kita mensegerakan diri dalam menyambut Ramadhan dengan persiapan ruhiyah, fikriyah, jasadiyah dan maaliyah kita.
Semoga dengan upaya kita mempersiapkan diri dalam menyambut Ramadhan tahun ini, Allah SWT berkenan mempertemukan kita dengan Ramadhan, lalu memberikan taufiq kepada kita untuk mendapatkan keberkahan Ramadhan itu. Selama sebulan penuh kita beramal di bulan suci lagi mulia itu, disertai dengan rahmat dan ampunan Allah SWT, hingga menjadikan kita diridhai-Nya.

Teori Belajar Kognitif dan Aplikasinya

A.       Pendahuluan
Sejarah telah mencatat kemajuan suatu bangsa akan ditentukan oleh kemajuan sistem pendidikan negara tersebut. Pendidikan merupakan tugas Negara yang teramat penting. Bangsa yang ingin maju, membangun, dan berusaha memperbaiki keadaan masyarakat dan dunia, tentu akan mengatakan bahwa pendidikan merupakan kunci. Pintu kesuksesan akan segera terbuka ketika negara tersebut mempunyai kunci yang baik.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mempunyai komitmen tinggi menjadi Negara yang maju. Oleh karena itu pendidikan adalah yang teramat penting bagi bangsa Indonesia. Akan tetapi yang teramat disayangkan Sistem pendidikan di Indonesia masih belum menunjukan hasil kerja yang baik. Cara dan sistem pendidikan yang ada sering menjadi sasaran kritik dan kecaman karena seluruh daya guna sistem pendidikan tersebut diragukan. Oleh karena itu pembenahan sistem pendidikan di Indonesia adalah kebutuhan yang harus segera direalisasikan.
Salah satu bagian dari sistem pendiidkan adalah persoalan belajar. Belajar adalah sebuah usaha untuk membentuk dan mengembangkan pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, nilai, sikap, tingkah laku dan semua perbuatan manusia. Pyle mendefnisikan belajar sebagai suatu proses berubahnya tingkah laku tertentu yang secara relative permanent (Mukminan, 1998). Sedangkan Gagne menyampaikan disamping permanent, perubahan tingkah laku tersebut hendaknya bukan disebabkan oleh proses pertumbuhan fisik, dan juga bukan karena perubahan kondisi fisik yang temporer sifatnya (Mukminan, 1998).
Secara konvesional dikenal adanya dua pendekatan yang terkenal dalam belajar manusia, yakni orientasi behavioristik yang elementaristik dan orientasi fenomenologik yang melahirkan teori konstruktivistik yang holistik. Perbedaan orientasi dalam memandang cara belajar manusia inilah yang akhirnya melahirkan sejumlah teori belajar, diantaranya adalah teori belajar kognitif.


B.       Teori Kognitif
Teori kognitif menekankan belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang tampak. Teori Kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut. Memisah-misahkan atau membagi-bagi situasi/materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil dan mempelajarinya secara terpisah-pisah. Teori kognitif berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan factor-faktor lain. (C. Asri Budiningsih, 2003). Dalam praktik pembelajaran teori kognitif antara lain tampak dalam rumusan-remusan seperti, “Tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh J. Piaget, Advance organizer dari Ausubel, dan pemahaman konsep dari Burner (Suciati, 1993).
PIAGET
BURNER
AUSUBEL
·      Proses belajar terjadi menurut pola tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umur mahasiswa
·      Proses belajar terjadi lebih ditentukan oleh cara kita mengatur materi pelajaran, dan bukan ditentukan oleh umur mahaiswa
·      Proses belajar terjadi bila siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan yang dia miliki dengan pengetahuan yang baru
·      Proses belajar terjadi melalui taha-tahap:
·      Proses belajar terjadi melalui tahap-tahap :
·      Proses belajar terjadi melalui tahap-tahap :
o    Asimilasi (proses penyesuaian pengetahuan baru dengan struktur kognitif mahasiswa).
o    Enaktif (aktivitas mahasiswa untuk memahami lingkungan).
o    Memperhatikan stimulus yang diberikan
o    Akomodasi (proses penyesuaian struktur kognitif mahaiswa dengan pengetahuan baru).
o    Ikonik (mahasiswa melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal).
o    Memahami makna stimulus
o    Equilibrasi (proses penyeimbangan mental setelah terjadi proses asimilasi/ akomodasi).
o    Simbolik (mahasiswa memahami gagasan-gagasan abstrak).
o    Menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah difahami
·      Contoh asimilasi dan akomodasi adalah seperti berikut. Misalnya seorang mahasiswa telah memiliki pengetahuan tentang perbuatan baik dan buruk. Kemudian, gurunya memberi pelajaran baru tentang perbuatan baik dan buruk menurut falsafah Pancasila. Maka proses penyesuaian materi baru terhadap pengetahuan yang sudah dimiliki si mahasiswa itulah yang disebut “asimilasi”. Jika proses ini dibalik, yakni pengetahuan si mahasiswa di sesuaikan kepada materi baru, maka proses ini disebut sebagai “akomodasi”
·      Pada tahap enaktif, seorang mahasiswa melakukan observasi dengan cara mengalami secara langsung satu realitas. Pada tahap ikonik, mahasiswa melakukan observasi terhadap terhadap suatu realitas, tetapi tidak dengan secara langsung mengalami, ia cukup melakukannya melalui sumber-sumber sekunder ” seperti tulisan atau gambar-gambar. Pada tahap simbolik, mahasiswa membuat abstraksi berupa teori-teori, penafsiran, analisis, dan sebagainya, terhadap realitas yang telah di amati dan alami
·       
·      Selama proses asimlasi dan akomodasi terjadi, diyakini adanya perubahan stuktur kognitif dalam benak mahasiswa. Proses perubahan ini suatu saat harus berhenti. Untuk mencapai saat berhenti inilah dibutuhkan proses “equilibrasi (penyeimbangan). Jika proses equiibrasi ini berhasil dengan baik maka terbentuklah suatu struktur kogninif yang baru dalam diri si mahasiswa, yakni penyatuan yang harmonis antara pengetahuan lama dan pengetahuan baru.
·       
·       
C.       Aplikasi Dalam Pendidikan
1.       Teori Perkembangan Piaget
Teori Piaget dalam aplikasi praktisnya sangat mementingkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar. Menurut teori Piaget, hanya dengan mengaktifkan siiswa, maka proses asimilasi/akomodsi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik. Secara umum, pengaplikasian teori Piaget biasanya mengikuti pola berikut ini :
1.    Menentukan tujuan-tujuan instruksional
2.    Memilih materi pelajaran
3.    Menentukan topik-topik yang mungkin dipelajari secara aktif oleh siswa (dengan bimbingan minimum dari guru).
4.    Menentukan dan merancang kegiatan belajar yang cocok untuk topik-topik yang akan dipelajari oleh siswa (Kegiatan belajar ini biasanya berbentuk eksperimentasi, problem solving, roleplay).
5.    Mempersiapkan berbagai pertanyaan yang dapat memacu kreativitas siswa untuk berdiskusi atau bertanya.
6.    Mengevaluasi proses dan hasil belajar.


2.       Teori Bermakna Ausubel
Teori Ausubel dalam aplikasinya menuntut siswa belajar secara deduktif (dari umum ke khusus). Hal lain yang membedakan, Burner lebih mementingkan struktur disiplin ilmu. Ausubel lebih menekankan pada aspek struktur kognitif siswa.
Satu konsep penting dalam teori Ausubel adalah “Advance Organizer” (AO). AO adalah suatu gambaran singkat (bersifat visual atau verbal) yang mencakup isi pelajaran barau yang akan dipelajari siswa. AO berfungsi sebagai (1) kerangka konseptual yang menjadi titik tolak proses belajar yang akan berlangsung; (2) penghubung antara ilmu pengetahuan yang saat ini dikuasai siswa dengan ilmu baru yang akan dipelajari; (3) fasilitator yang membantu mempermudah proses belajar siswa. Secara umum, teori Ausubel dalam praktik adalah sebagai berikut :
1.    Menentukan tujuan-tujuan instruksional.
2.    Mengukur kesiapan siswa (minat, kemampuan, struktur kognitif), baik melalui tes awal, interview, review, pertanyaan, dan lain-lain.
3.    Memilih materi pelajaran dan mengaturnya dalam bentuk penyajian konsep-konsep kunci.
4.    Mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus dikuasai siswa dari materi tersebut.
5.    Menyajikan suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari.
6.    Membuat dan menggunakan “advance organizer”, paling tidak dengan cara membuat rangkuman terhadap materi yang baru saja diberikan, dilengkapi dengan uraian singkat yang menunjukan relevansi (keterkaitan) materi yang sudah diberikan itu dengan materi baru yang akan diberikan.
7.    Mengajari siswa memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang sudah ditentukan, dengan memberi focus pada hubungan yang terjalin antara konsep-konsep yang ada.
8.    Mengevaluasi proses dan hasil belajar.

3.       Teori Kogninif Bruner
Teori Bruner dalam aplikasi praktisnya sangat membebaskan siswa untuk belajar sendiri. Karena itulah teori Bruner ini dianggap sangat cenderung bersifat “discovery” (belajar dengan cara menemukan). Di samping itu, karena teori Bruner ini banyak menuntut pengulangan-pengulangan, maka desain yang berulang-ulang itu lazim disebut sebagai “kurikulum spiral Bruner”.
Secara singkat kurikulum spiral menuntut guru untuk memberi materi perkuliahan setahap demi setahap, dari yang sederhana ke yang kompleks, dimana suatu materi yang sebelumnya sudah diberikan, suatu saat muncul kembali, secara terintegrasi, dialam suatu materi baru yang lebih kompleks. Demikian seterusnya berulang-berulang, sehingga tak terasa mahasiswa telah mempelajari suatu ilmu pengetahuan secara utuh. Secara umum teori Bruner ini bila diaplikasikan biasanya mengikuti pola sebagai berikut :
1.    Menentukan tujuan-tujuan instruksional.
2.    Memilih materi pelajaran.
3.    Menentukan topik-topik yang bias dipelajari secara induktif oleh mahasiswa.
4.    Mencari contoh-contoh, tugas, ilustrasi, dsb. yang dapat digunakan mahasiswa untuk belajar.
5.    Mengatur topik-topik pelajaran sedemikian rupa sehingga urutan topic itu bergerak dari yang paling  konkrit ke yang abstrak, dari yang sederhana ke yang kompleks, dari tahap enaktif, ikonik, sampai ke tahap simbolik, dan seterusnya.
6.    Mengevaluasi proses dan hasil belajar.

D.       Kritik
Teori kognitif sering dikritik sebagai lebih dekat kepada psikologi daripada kepada teori belajar, sehingga aplikasinya dalam proses belajar-mengajar tidaklah mudah. Teori ini juga dianggap sukar dipraktikan secara murni sebab seringkali kita tidak mungkin memahami “struktur kognitif” yang ada dalam benak setiap peserta didik, apalagi memilah-milah struktur kogninif tersebut menjadi bagian-bagian yang diskrit (jelas batas-batasnya).
Pada tahap lanjut (advanced), seringkali tidak mudah memahami dan mengidentifikasi pengetahuan yang sudah ada dalam benak mahasiswa. Seringkali pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki peserta didik itu sudah terlalu kompleks untuk diidentifikasi secara tuntas, apalagi hanya dengan menggunakan satu-dua pre test.
DAFTAR PUSTAKA

C. Asri Budingsih (2003), Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.

Gordon H Bower, Theori Of Learning. Both of Stanfordc University

Mukminan (1998), Belajar dan Pembelajaran.  Yogyakarta : Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta.

Suciati (1993), Teori Belajar dan Motivasi. Jakarta : Pusat Antar Universitas, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.



Teori Belajar Andragogi

A.    PENDAHULUAN
Salah satu aspek penting yang harus kita perhatikan dalam menghadapi era globalisasi teknologi informasi saat ini adalah mengenai konsep pendidikan seumur hidup, karena apa yang ada di sekitar kita  senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan yang sangat pesat. Perubahan yang terjadi seperti inovasi teknologi, mobilisasi penduduk, perubahan sistem ekonomi, dan sejenisnya begitu cepat terjadi. Dalam kondisi ini, maka pengetahuan yang diperoleh seseorang ketika ia berumur 21 tahun akan menjadi usang ketika ia berumur 40 tahun. Apabila demikian halnya, maka pendidikan sebagai suatu proses transmisi pengetahuan sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan modern (Zainudin Arif, 1994:1).
Untuk mengantisipasi perubahan tersebut, pendidikan orang dewasa perlu mendapat perhatian, karena kenyataan di lapangan, bahwa tidak sedikit orang dewasa yang harus mendapat pendidikan baik pendidikan informal maupun nonformal, misalnya pendidikan dalam bentuk keterampilan, kursus-kursus, penataran dan sebagainya. Masalah yang sering muncul adalah bagaimana kiat, dan strategi membelajarkan orang dewasa?. Dalam hal ini, orang dewasa sebagai siswa dalam kegiatan belajar tidak dapat diperlakukan seperti anak-anak didik biasa yang sedang duduk di bangku sekolah tradisional. Oleh sebab itu, harus dipahami bahwa, orang dewasa yang tumbuh sebagai pribadi dan memiliki kematangan konsep diri bergerak dari ketergantungan seperti yang terjadi pada masa kanak-kanak menuju ke arah kemandirian atau pengarahan diri sendiri.
Menurut Knowles terdapat empat definisi orang dewasa yaitu: (1) Dari aspek biologi: Individu itu mencapai tahap dewasa apabila mencapai peringkat umur tertentu dan mampu melahirkan anak, (2) Dari aspek undang-undang: Individu itu dianggap dewasa apabila mencapai syarat untuk terikat dalam undang-undang seperti memiliki surat ijin mengemudi, pemilihan umum, dan menikah. 3) Dari aspek sosial: Individu itu dianggap dewasa apabila dia dapat memainkan peranan sebagai orang dewasa, bekerja dan berumah tangga. 4) Dari aspek psikologi: Individu itu dianggap dewasa apabila dia mencapai tahap kesempurnaan  di mana dia mampu mengurus hidupnya sendiri.
Kematangan psikologi orang dewasa sebagai pribadi yang mampu mengarahkan diri sendiri ini mendorong timbulnya kebutuhan psikologi yang sangat dalam yaitu keinginan dipandang dan diperlakukan orang lain sebagai pribadi yang mengarahkan dirinya sendiri, bukan diarahkan, dipaksa dan dimanipulasi oleh orang lain. Dengan begitu apabila orang dewasa menghadapi situasi yang tidak memungkinkan dirinya menjadi dirinya sendiri maka dia akan merasa dirinya tertekan dan merasa tidak senang (Asmin,2007). Karena orang dewasa bukan anak kecil, maka pendidikan bagi orang dewasa tidak dapat disamakan dengan pendidikan anak sekolah. Perlu dipahami apa pendorong bagi orang dewasa belajar, apa hambatan yang dialaminya, apa yang diharapkannya, bagaimana ia dapat belajar paling baik dan sebagainya
Pemahaman terhadap perkembangan kondisi psikologi orang dewasa tentu saja mempunyai arti penting bagi para pendidik atau fasilitator dalam menghadapi orang dewasa sebagai siswa. Berkembangnya pemahaman kondisi psikologi orang dewasa semacam itu tumbuh dalam teori yang dikenal dengan nama andragogi. Andragogi sebagai ilmu yang memiliki dimensi yang luas dan mendalam akan teori belajar dan cara mengajar. Secara singkat teori ini memberikan dukungan dasar yang esensial bagi kegiatan pembelajaran orang dewasa. Oleh sebab itu, pendidikan atau usaha pembelajaran orang dewasa memerlukan pendekatan khusus dan harus memiliki pegangan yang kuat akan konsep teori yang didasarkan pada asumsi atau pemahaman orang dewasa sebagai siswa.

B.     PERKEMBANGAN ANDRAGOGI
Istilah andragogi sebagai istilah teori filsafat pendidikan telah digunakan dalam tahun 1833 oleh Alexander Kapp, seorang bangsa Jerman yang bekerja sebagai guru grammer, namun kemudian istilah tersebut menghilang dalam peredaran jaman (Mappa,1994: 111). Tahun 1921, istilah tersebut dimunculkan kembali oleh Eugene Rodenstock, seorang pengajar pada Akademi Buruh di Frankfurt, dalam laporannya pada akademi tersebut, ia mengemukakan pendapat bahwa pendidikan orang dewasa membutuhkan guru-guru khusus, metode dan filsafat khusus, bukan teori pendidikan atau pedagogik yang diterapkan pada situasi pendidikan bagi anak-anak.
Sejak tahun 1970, istilah andragogi semakin banyak digunakan oleh petugas-petugas pendidikan orang dewasa di Eropa seperti Belanda, Perancis, dan Inggris, bahkan juga di benua Amerika seperti Amerika Serikat, Venezuela dan Canada, demikian juga di Asia, yaitu India.
Selanjutnya pada tahun 1980, Malcom Knowles dalam bukunya yang berjudul The Modern Practice of Adult Education. Andragogy versus pedagogy  mengupas perspektif teori belajar dan teori pembelajaran orang dewasa . Knowles menegaskan adanya perbedaan asumsi antara belajar orang dewasa dengan belajar bagi anak-anak dilihat dari segi perkembangan kognitif mereka,  asumsi tersebut adalah perbedaan dalam konsep diri, perbedaan pengalaman, kesiapan untuk belajar, dan perbedaan dalam orientasi ke arah kegiatan belajar.
Malcom Knowles yang hidup tahun 1913-1997 merupakan figur pendidikan orang dewasa Amerika Serikat selama setengah abad ke 20, dalam tahun 1950-an ia menjadi direktur eksekutif Asosiasi Pendidikan Orang Dewasa Amerika Serikat. Telah banyak tulisan yang dihasilkan, diantaranya adalah Informal Adult Education (1950), Adult Leadership(1968), The Modern Practice of Adult Education (1970), The Adult Learner (1973) dan Self Directed Learning (1975). 
Dengan mengembangkan pembelajaran orang dewasa dengan teori andragoginya, Knowles dianggap sebagai bapak teori andragogi meskipun bukan di yang pertama menggunakan istilah tersebut.

C.    PENGERTIAN ANDRAGOGI
Andragogi berasal dari bahasa Yunani kuno "aner", dengan akar kata andr- yang berarti orang dewasa, dan agogos yang berarti membimbing atau membina. Disamping itu, ada istilah lain yang sering dipergunakan sebagai perbandingan adalah "pedagogi", yang ditarik dari kata "paid" artinya anak dan "agogos" artinya membimbing atau memimpin. Maka dengan demikian secara harafiah "pedagogi" berarti seni atau pengetahuan membimbing atau memimpin atau mengajar anak sedangkan ”andragogi” berarti seni atau pengetahuan membimbing atau memimpin atau mengajar orang dewasa.
Lindeman (1972) menyatakan bahwa pembelajaran orang dewasa (andragogi) merupakan teknik baru dalam kaedah pembelajaran, merupakan proses di mana pelajar sadar bagaimana menilai dan memperoleh pengalaman, fakta,  informasi serta menggunakan pengetahuan dengan tujuan menyelesaikan masalah.  Gesner (1956) menyatakan bahwa pembelajaran orang dewasa merupakan satu konsep di mana aktivitas yang sengaja diadakan untuk pengembangan orang dewasa dengan tujuan untuk peningkatan kesadaran, penambahan pengalaman dan pengetahuan. Sedangkan menurut UNESCO mendifinisikan Pembelajaran orang dewasa adalah keseluruhan proses pendidikan yang diorganisasikan, apapun isinya, tingkatan, metodenya baik formal atau tidak, melanjutkan maupun menggantikan pendidikan semula di sekolah, akademi dan universitas serta latihan kerja yang membuat orang dianggap dewasa oleh masyarakat untuk membangun kemampuan, memperkaya pengetahuan serta meningkatkan kelayakan teknik dan profesionalnya, dan mengakibatkan perubahan pada sikap dalam perilakunya dalam perspektif rangkap perkembangan pribadi secara utuh dan partisipasi dalam pengembangan sosial, ekonomi dan budaya yang seimbang dan bebas (Townsend, 1997 dalam Suprijanto, 2007).
 Sebelum pendidikan orang dewasa dan teori belajar orang dewasa berkembang secara baik, banyak praktek mengajar orang dewasa dilakukan sama saja dengan mengajar anak. Prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan pendidikan orang dewasa. Hampir semua yang diketahui mengenai belajar ditarik dari penelitian belajar yang terkait dengan anak. Begitu juga mengenai mengajar, ditarik dari pengalaman mengajar anak-anak, teori mengenai transaksi guru dan siswa didasarkan pada suatu definisi pendidikan sebagai proses pemindahan kebudayaan. Namun, orang dewasa sebagai pribadi yang sudah matang mempunyai kebutuhan dalam hal menetapkan daerah belajar di sekitar problem hidupnya.
Andragogi secara harfiah dapat diartikan sebagai seni dan pengetahuan mengajar orang dewasa. Namun, karena orang dewasa sebagai individu yang dapat mengarahkan diri sendiri, maka dalam andragogi yang lebih penting adalah kegiatan belajar dari peserta didik bukan kegiatan mengajar guru. Orang dewasa sebagai individu yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, maka dalam andragogi yang terpenting dalam proses interaksi belajar adalah kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri dan bukan merupakan kegiatan seorang guru mengajarkan sesuatu (Learner Centered Training / Teaching). Oleh karena itu, dalam memberikan definisi andragogi lebih cenderung diartikan sebagai seni dan pengetahuan membelajarkan orang dewasa.

D.    BELAJAR DAN MENGAJAR DALAM ANDRAGOGI
1.      Orang Dewasa Belajar
Semula ada anggapan bahwa berdasarkan laporan yang dikemukakan oleh E.L. Thorndike bahwa kemampuan untuk belajar seseorang menurun secara perlahan sesudah umur 20 tahun. Tetapi hasil studi terakhir yang dikemukakan oleh Irving Lorge menunjukkan bahwa menurunnya itu hanya dalam kecepatan belajarnya dan bukan dalam kekuatan intelektualnya (Zainudin Arif,1994:7). Ditegaskan pula dalam penelitian Monge (1975) dalam Mukminan (1998:64-65) bahwa kesulitan belajar bagi orang dewasa dipekirakan terletak pada kesiagaan belajar, bukan terletak pada fungsi memori dan kognitif.
Kemampuan seseorang untuk belajar masih tetap ada sepanjang hidup orang tersebut, apabila seorang dewasa tidak mampu menampilkan kemampuan belajar yang sebenarnya, hal ini karena beberapa faktor seperti orang tersebut sudah lama meninggalkan cara belajar yang sistematik atau karena adanya perubahan-perubahan faktor fisiologik seperti menurunnya pendengaran, penglihatan dan tenaganya.
Disamping itu, orang dewasa perlu belajar dan terus belajar karena adanya suatu tuntutan perubahan. Oleh karena itu pendidikan sekarang tidak lagi dirumuskan  sebagai upaya untuk mentransmisikan pengetahuan, tetapi dirumuskan sebagai suatu proses penemuan sepanjang hayat terhadap apa yang dibutuhkan untuk diketahui.

2.      Belajar Merupakan Proses Dari Dalam
Pandangan tradisional cenderung memandang pendidikan sebagai informasi yang ditransmisikan dan melihat belajar sebagai suatu proses intelektual dalam meyimpan fakta-fakta, pandangan tersebut tidak seluruhnya benar. Pandangan baru mengemukakan bahwa belajar merupakan suatu proses dari dalam yang dikontrol langsung oleh peserta didik sendiri serta melibatkan dirinya dalam fungsi intelektual, emosi dan fisiknya.
Belajar secara psikologik dipandang suatu proses pemenuhan kebutuhan dan tujuan. Ini berarti bahwa peserta merasakan adanya kebutuhan untuk belajar dan melihat tujuan pribadi akan dapat tercapai dengan bantuan belajar. Pembelajaran tidak akan tercapai secara baik apabila peserta sendiri tidak merasakan adanya kebutuhan untuk belajar bagi dirinya.
Dalam proses belajar mengajar orang dewasa, pelibatan peserta secara aktif akan dapat menghasilkan belajar yang paling kuat, dalam hal ini peserta dilibatkan dalam mendiagnosis kebutuhan belajar, merumuskan tujuan belajarnya, berbagi tanggung jawab dalam merancang dan melaksanakan kegiatan belajarnya serta ikut pula dalam mengevaluasi kemajuan belajarnya.

3.      Kondisi Belajar dan  Prinsip-Prinsip Mengajar
Menurut Zainudin Arif (1994:8-10) ada beberapa kondisi belajar dan prinsip-prinsip mengajar yang perlu dianut dalam proses belajar mengajar yang bersifat andragogik antara lain:
Kondisi Belajar
Prinsip-prinsip mengajar
A. Peserta merasa ada kebutuhan untuk belajar
1)     Fasilitator mengemukakan kepada peserta kemung-inan-kemungkinan baru untuk pemenuhan dirinya
2)     Fasilitator membantu setiap peserta untuk memper-jelas aspirasi dirinya untuk peningkatan perilakunya
3)     Fasilitator membantu peserta mendiagnosis perbedaan antara aspirasinya dengan tingkat penampilannya sekarang
4)     Fasilitator membantu peserta mengidentifikasi masalah-masalah kehidupan yang mereka alami karena adanya perbedaan tadi
B.  Lingkungan belajar ditandai oleh keadaan fisik yang menyenang-kan, saling menghormati dan mempercayai, saling membantu, kebebasan mengemukakan pendapatnya, dan setuju adanya perbedaan
5)     Fasilitator memberikan kondisi fisik yang menyenangkan seperti tempat duduk, ventilasi, lampu dan sejenisnya dan kondisi untuk menciptakan interaksi antara peserta satu sama lain
6)     Fasilitator memandang bahwa setiap peserta merupakan pribadi yang bermanfaat dan menghormati perasaan dan gagasan-gagasannya
7)     Fasilitator membangun hubungan saling membantu antara peserta dengan mengembangkan kegiatan-kegiatan yang bersifat kooperatif dan mencegah adanya persaingan dan saling memberikan penilaian
C. Peserta memandang tujuan pengalaman belajar menjadi tujuan mereka sendiri
8)     Fasilitator melibatkan peserta dalam suatu proses merumuskan tujuan belajar dimana kebutuhan peserta, lembaga, pengajar, masyarakat ikut dipertimbangkan pula
D. Peserta menyetujui untuk saling membagi tanggung jawab dalam perencanaan dan melaksanakan belajar.
9)     Fasilitator ikut membantu pula dalam merancang pengalaman belajar dan memilih bahan-bahan dan metode serta melibatkan peserta dalam setiap keputusan bersama-sama
E. Peserta berpartisipasi secara aktif dalam proses belajar
10) Fasilitator membantu peserta mengorganisir dirinya (kelompok untuk melakukan proyek, team belajar mengajar, studi bebas dan lain-lain) untuk memban-u tanggung jawab dalam proses pencarian bersama
F.  Proses belajar dikaitkan dan menggunakan  pengalaman peserta
11) Fasilitataor membantu peserta menggunakan pengalaman mereka sendiri sebagai sumber belajar melalui penggunaan teknik seperti diskusi, permainan peran, kasus dan sejenisnya
12) Fasilitator menyampaikan presentasinya berdasar-kan sumber-sumber dari dirinya terhadap tingkat pengalaman peserta
13) Fasilitator membantu peserta untuk mengaplikasi-an belajar baru terhadap pengalaman mereka, dan ini berarti membuat belajar lebih bermakna dan terpadu
G. Peserta mempunyai rasa kemajuan terhadap tujuan belajar mereka
14)        Fasilitator melibatkan peserta dalam mengembang-an kriteria yang disetujui bersama serta metode dalam mengukur kemajuan terhadap tujuan belajar
15)        Fasilitator membantu peserta mengembangkan dan mengaplikasikan prosedur dalam mengevaluasi diri sendiri berdasarkan kriteria itu.
                                                                                    Sumber: Zainudin Arif (1994:8-10)
E.     PRINSIP-PRINSIP ANDRAGOGI

Prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa  menurut Cross (1981) adalah pembelajaran orang dewasa diperlukan untuk menambah pengalaman peserta, pembelajaran orang dewasa harus disesuaikan dengan usia peserta, orang dewasa tertantang untuk meningkatkan pengembangan pribadi, dan orang dewasa memiliki banyak kemungkinan pilihan dan organisasi dalam program pembelajarannya. Menurut Miller (1904), pelajar perlu diberikan motivasi untuk mengubah tingkah laku yang inginkan dan tingkah laku yang tidak diinginkan, pelajar diberikan kesempatan untuk mencoba tingkah laku yang baru, dan pelajar memperoleh bahan-bahan yang sesuai untuk  membantu pembelajaran. Sedangkan menurut Gibb (1960),  pelaksanaan pembelajaran berdasarkan pada pemecahan masalah, pemusatan pengalaman peserta menjadi dasar pembelajaran karena pengalaman yang dimiliki akan bermakna pada pelajar, dan tujuan pembelajaran ditentukan oleh pelajar itu sendiri.
Berdasarkan prinsip-prinsip yang diberikan oleh beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan bahawa prinsip andragogi antara lain: (1) Pembelajaran adalah proses yang berkelanjutan, orang dewasa merasakan keperluan dalam berbagai bidang keterampilan dan pengalaman bagi kehidupan mereka; (2) Orang dewasa belajar dengan lebih baik apabila mereka terlibat dalam proses merancang dan menilai keberhasilan pembelajaran; (3) Orang  dewasa memerlukan bahan-bahan untuk membantu pembelajarannya sesuai dengan situasi pembelajaran. 4) Orang dewasa belajar dengan baik apabila mereka mempunyai motivasi untuk berubah dan memiliki pengembangan diri.
Selanjutnya Knowles (1990: 57-61) mengembangkan konsep andragogi atas 6 asumsi pokok antara lain: mengetahui kebutuhan akan belajar, konsep diri, peranan pengalaman, kesiapan belajar, orientasi belajar dan motivasi. Asumsi tersebut akan berbeda antara pendidikan orang dewasa (andragogi) dan pendidikan untuk anak (pedagogi). Berikut ini diuraikan asumsi-asumsi untuk andragogi adalah:

1.      Mengetahui Kebutuhan
Asumsinya adalah orang dewasa harus mengetahui, mengapa mereka harus belajar sesuatu  sebelum mereka berusaha mempelajarinya. Tugas utama fasilitator dalam pembelajaran adalah membantu warga belajar  untuk menyadari kebutuhan akan pengetahuan tersebut. Fasilitator dapat mengemukakan alasan-alasan yang yang nyata untuk mengembangkan keefektifan kualitas pembelajaran dan bagi kehidupan warga belajar.

2.      Konsep Diri
Asumsinya bahwa kesungguhan dan kematangan diri seseorang bergerak dari ketergantungan total menuju ke arah pengembangan diri sehingga mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dan mandiri. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa secara umum konsep diri anak-anak masih tergantung sedangkan pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian inilah orang dewasa membutuhkan memperoleh penghargaan orang lain sebagai manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri (Self Determination) dan mampu mengarahkan dirinya sendiri (Self Direction).
Apabila orang dewasa tidak menemukan dan menghadapi situasi dan kondisi yang memungkinkan timbulnya penentuan diri sendiri dalam pembelajaran, maka akan menimbulkan penolakan atau reaksi yang kurang menyenangkan. Orang dewasa juga mempunyai kebutuhan psikologis yang  secara umum menjadi mandiri, meskipun dalam situasi tertentu boleh jadi ada ketergantungan yang sifatnya sementara. Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pembelajaran, khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran untuk membuat perubahan dari cara belajar yang independen menuju kea rah belajar mandiri yang terarah.

3.      Peranan Pengalaman
Asumsinya adalah bahwa sesuai dengan perjalanan waktu seorang individu tumbuh dan berkembang menuju ke arah kematangan. Dalam perjalanannya, seorang individu mengalami dan mengumpulkan berbagai pengalaman pahit-getirnya kehidupan, dimana hal ini menjadikan seorang individu sebagai sumber belajar yang demikian kaya, dan pada saat yang bersamaan individu tersebut memberikan dasar yang luas untuk belajar dan memperoleh pengalaman baru. Oleh sebab itu, dalam pembelajaran orang dewasa, terjadi penurunan penggunaan teknik transmittal seperti yang dipergunakan dalam pembelajaran konvensional dan menjadi lebih mengembangkan teknik yang bertumpu pada pengalaman. Dalam hal ini dikenal dengan "Experiential Learning Cycle" (Proses Belajar Berdasarkan Pengalaman).
 Peranan pengalaman dalam kegiatan pembelajaran membawa implikasi terhadap pemilihan dan penggunaan metoda dan teknik pembelajaran, dalam praktek pembelajaran lebih banyak menggunakan diskusi kelompok, curah pendapat, kerja laboratori, sekolah lapang, melakukan praktek dan lain sebagainya, yang pada dasarnya berupaya untuk melibatkan peranserta atau partisipasi warga belajar.

4.      Kesiapan Belajar
Asumsinya bahwa setiap individu semakin menjadi matang sesuai dengan perjalanan waktu, maka kesiapan belajar bukan ditentukan oleh kebutuhan atau paksaan akademik ataupun biologisnya, tetapi lebih banyak ditentukan oleh tuntutan perkembangan dan perubahan tugas dan peranan sosialnya. Pada seorang anak belajar karena adanya tuntutan akademik atau biologiknya. Tetapi pada orang dewasa siap belajar sesuatu karena tingkatan perkembangan mereka yang harus menghadapi dalam peranannya sebagai pekerja, orang tua atau pemimpin organisasi. Hal ini membawa implikasi terhadap materi pembelajaran yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhannya dan atau peranan sosialnya.

5.      Orientasi Belajar
Asumsinya yaitu bahwa pada anak orientasi belajarnya seolah-olah sudah ditentukan dan dikondisikan untuk memiliki orientasi yang berpusat pada materi pembelajaran (Subject Matter Centered Orientation). Sedangkan pada orang dewasa mempunyai kecenderungan memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan permasalahan yang dihadapi (Problem Centered Orientation). Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan keseharian, terutama dalam kaitannya dengan fungsi dan peranan sosial orang dewasa.
Selain itu, perbedaan asumsi ini disebabkan juga karena adanya perbedaan perspektif waktu. Bagi orang dewasa, belajar lebih bersifat untuk dapat dipergunakan atau dimanfaatkan dalam waktu segera. Sedangkan anak, penerapan apa yang dipelajari masih menunggu waktu hingga dia lulus dan sebagainya. Sehingga ada kecenderungan pada anak, bahwa belajar hanya sekedar untuk dapat lulus ujian dan memperoleh sekolah yang lebih tinggi.
Hal in menimbulkan implikasi terhadap sifat materi pembelajaran bagi orang dewasa, yaitu bahwa materi tersebut hendaknya bersifat praktis dan dapat segera diterapkan di dalam kenyataan sehari-hari.


6.      Motivasi
Asumsinya bahwa, orang dewasa akan mau belajar karena memperhatikan kepada beberapa motivator eksternal antara lain pekerjaan lebih baik, promosi, gaji lebih tinggi, dan semacamnya,  motivator yang paling kuat adalah tekanan dalam berupa keinginan untuk meningkatkan kepuasan kerja, mengagumi diri sendiri, mutu hidup, dan semacamnya. Setiap orang dewasa normal memiliki motivasi untuk tumbuh dan berkembang tetapi motivasi tersebut sering dihalangi oleh konsep diri yang negatif akan kemampuannya, peluang, sumber daya, batasan waktu dan program pembelajaran yang tidak menganut prinsip belajar orang dewasa.

Untuk membedakan antara asumsi-asumsi pembelajaran bagi orang dewasa(Andragogi) dengan pembelajaran untuk anak didik (pedagogi), berikut ini diuraikan tentang asumsi-asumsi pembelajaran pegagogi antara lain: (1) Mengetahui kebutuhan, peserta didik mengganggap bahwa belajar adalah untuk bekal kehidupan di kemudian hari, (2) Kosep diri, peserta didik digambarkan sebagai seseorang yang bersifat tergantung, masyarakat mengharapkan para guru bertanggung jawab sepenuhnya untuk menentukan apa yang harus dipelajari, kapan, bagaimana cara mempelajarinya, dan apa hasil yang diharapkan setelah selesai, (3) Peranan pengalaman, pengalaman yang dimiliki oleh peserta didik tidak besar nilainya, mungkin hanya berguna untuk titik awal, sedangkan pengalaman yang sangat besar adalah pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari gurunya, para penulis, produsen alat-alat peraga atau alat-alat audio visual dan pengalaman para ahli lainnya. Oleh karenanya, teknik penyampaian adalah  berupa: ceramah, tugas baca, dan penyajian melalui alat pandang dengar, (4) Kesiapan belajar, anak didik harus siap mempelajari apapun, hal ini menimbulkan tekanan yang cukup besar bagi mereka karena adanya perasaan takut gagal, anak-anak yang sebaya diaggap siap untuk mempelajari hal yang sama pula, oleh karena itu kegiatan belajar harus diorganisasikan dalam suatu kurikulum yang baku, dan langkah-langkah penyajian harus sama bagi semua orang, (5) Orientasi belajar, peserta didik menyadari bahwa pendidikan adalah suatu proses penyampaian ilmu pengetahuan, dan mereka memahami bahwa ilmu-ilmu tersebut baru akan bermanfaat di kemudian hari. Oleh karena itu, kurikulum harus disusun sesuai dengan unit-unit mata pelajaran dan mengikuti urutan-urutan logis ilmu tersebut , misalnya dari kuno ke modern atau dari yang mudah ke sulit. Dengan demikian, orientasi belajar ke arah mata pelajaran. Artinya jadwal disusun berdasarkan keterselesaian nya mata-mata pelajaran yang telah ditetapkan, dan (6) Motivasi, peserta didik memandang bahwa belajar adalah untuk mendapatkan kemampuan, keterampilan untuk bekal kehidupan dengan upaya belajar  untuk mendapatkan nilai sebaik mungkin. 

F.     METODE PEMBELAJARAN DALAM ANDRAGOGI
Banyak metode yang dapat diterapkan dalam pembelajaran orang dewasa. Untuk keberhasilan pembelajaran, apapun metode yang diterapkan seharusnya mempertimbangkan faktor sarana dan prasarana yang tersedia untuk mencapai tujuan akhir pembelajaran, yakni agar peserta dapat memiliki suatu pengalaman belajar yang bermutu. Merupakan suatu kekeliruan besar bilamana dalam hal ini, pembimbing secara kurang wajar menetapkan pemanfaatan metode hanya karena faktor pertimbangannya sendiri yakni menggunakan metode yang dianggapnya paling mudah, atau hanya disebabkan karena keinginannya dikagumi oleh peserta di kelas itu ataupun mungkin ada kecenderungannya hanya menguasai satu metode tertentu saja. Sejalan dengan itu, menurut Lunandi dalam Suprijanto (2007:73), proses belajar dirinci menjadi seperti terlihat dalam dalam kontium proses belajar sebagai berikut:
           
Penetapan pemilihan metode pembelajaran seharusnya mempertimbangkan aspek tujuan yang ingin dicapai, yang dalam hal ini mengacu pada garis besar program pengajaran yang dibagi dalam dua jenis:
1.      Rancangan proses untuk mendorong orang dewasa mampu menata dan mengisi pengalaman baru dengan mempedomani masa lampau yang pernah dialami, misalnya dengan latihan keterampilan, melalui tanya jawab, wawancara, konsultasi, latihan kepekaan, dan lain-lain, sehingga mampu memberi wawasan baru pada masing-masing individu untuk dapat memanfaatkan apa yang sudah diketahuinya.
2.       Proses pembelajaran yang dirancang untuk tujuan meningkatkan transfer pengetahuan baru, pengalaman baru, keterampilan baru, untuk mendorong masing-masing individu orang dewasa dapat meraih semaksimal mungkin ilmu pengetahuan yang diinginkannya, apa yang menjadi kebutuhannya, keterampilan yang diperlukannya, misalnya belajar menggunakan program komputer yang dibutuhkan di tempat ia bekerja.
Menurut Suprijanto (2007:86-87), metode yang dapat digunakan dalam pendidikan orang dewasa antara lain: (1) Penyajian Formal  meliputi ceramah atau kuliah, simposium, diskusi panel dan kolokium; (2) Teknik diskusi meliputi diskusi terbuka, diskusi kelompok, tim pimpinan, sesi buzz, bermain peran, skit drama, curah pendapat, diskusi informal, diskusi mangkuk ikan, debat, kelompok nominal, dan forum; (3) Demonstrasi dan laboratorium meliputi demontrasi metode, demontrasi hasil, dan prosedur laboratorium, (4) Widyawisata, (5) Audiovisual, dan (6) Komunikasi tertulis.
Pemilihan metode sangat penting dalam pembelajaran orang dewasa, kemampuan orang dewasa belajar dapat diperkirakan sebagai berikut: (a) 1% melalui indera perasa, (b) 1½ % melalui indera peraba, (c) 3½% melalui indera penciuman, (d) 11% melalui indera pendengar, dan (e) 83% melalui indera penglihat (Lunandi, 1987 dalam Asmin, 2006). Sejalan dengan itu, orang dewasa belajar lebih efektif apabila ia dapat mendengarkan dan berbicara. Lebih baik lagi kalau di samping itu ia dapat melihat pula, dan makin efektif lagi kalau dapat juga mengerjakan. Komposisi kemampuan tersebut dapat dilukiskan ke dalam piramida belajar (pyramida of learning) 
metode ceramah, peserta hanya mendengarkan. Fungsi bicara hanya sedikit terjadi pada waktu tanya jawab. Untuk metode diskusi bicara dan mendengarkan adalah seimbang. Dalam pendidikan dengan cara demonstrasi, peserta sekaligus mendengar, melihat dan berbicara. Pada saat latihan praktis peserta dapat mendengar, berbicara, melihat dan mengerjakan sekaligus, sehingga dapat diperkirakan akan menjadi paling efektif.

 
G.    FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES PEMBELAJARAN ANDRAGOGI
1.      Faktor Fisiologis
a.       Pendengaran
Kemampuan seseorang untuk mendengarkan sesuatu dengan jelas dari sumber suara makin berkurang sejalan dengan meningkatnya usia. Oleh karena itu,  sebaiknya penyajian informasi kepada orang dewasa disampaikan dengan suara yang jelas, intonasi yang baik dan tidak terlalu cepat berkisar 80-100 kata per menit atau dengan bantuan pengeras suara

b.      Penglihatan
Kemampuan untuk melihat dengan jelas bacaan atau tulisan mengalami penurunan sejalan dengan meningkatnya usia. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah intensitas cahaya yang cukup dalam ruang belajar, bila menggunakan lampu sebaiknya 60-100 watt; bentuk tulisan, jenis huruf Arial atau Time new roman apabila menggunakan komputer, menggunakan ukuran huruf minimal 24 apabila dalam bentuk presentasi; jarak tulisan, tulisan dalam bentuk naskah sebaiknya 1,5-2 spasi, letak papan tulis dengan peserta didik berjarak maksimal 10 meter; serta kombinasi warna menggunakan warna lembut dalam pembuatan peraga pembelajaran.

c.       Kondisi Fisiologis
Kemampuan fisiologis seseorang mengalami penurunan sejalan dengan meningkatnya usia, kondisi ini meliputi kesegaran jasmani, keletihan, kurang tidur, kesakitan yang diderita. Kondisi ini akan mempengaruhi proses interaksi belajar, oleh karena itu perlu dipertimbangkan pemilihan strategi belajar yang bervariasi, penuh dengan interaksi, membelajarkan dengan diselingi hiburan dan menggunakan media yang tepat.
2.      Faktor Psikologis
a.       Kecerdasan
Daya kecerdasan seseorang dalam kaitannya dengan usia seperti yang dijelaskan oleh Copley, 1997 (Mappa, 1994:34) adalah bahwa daya kecerdasan seseorang meningkat secara tajam sejak lahir hingga usia ± 20 tahun dan lalu mulai menurun pada usia 35-60 tahun, kemudian menurun dengan agak tajam sejalan dengan mundurnya kesehatan seseorang di usia tua.
b.      Motivasi
Motivasi adalah keadaan dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertindak melakukan sesuatu kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan,  motivasi dapat terjadi karena tumbuh dari dalam warga belajar sendiri dan timbul karena rangsangan dari luar, motivasi seseorang ditentukan oleh kuat lemahnya intensitas motif seseorang untuk melakukan kegiatan. Pemberian motivasi pada warga belajar perlu di dilakukan dari awal hingga akhir kegiatan demi tercapainya tujuan pembelajaran.

c.       Perhatian
Perhatian merupakan pemusatan energi psikis yang dilakukan secara sadar terhadap sesuatu obyek atau materi pelajaran, kegiatan yang disertai dengan perhatian yang intensif akan lebih efektif dan efesien sehingga dapat mencapai prestasi yang tinggi hal ini dapat dilakukan dengan membelajarkan melalui metode yang lain daripada biasanya, menggunakan alat atau sumber belajar baru, mengaitkan pembelajaran dengan kebutuhan atau kepentingan warga belajar.


d.      Berfikir
Berfikir merupakan suatu kegiatan mental berupa pelukisan gagasan berdasarkan pengetahuan yang ada dengan memperhitungkan hubungan sebab akibat yang dirangkaikan secara logis dan rasional. Untuk meningkatkan kemampuan berfikir dapat dilakukan melalui pemberian kesempatan untuk mengkaji permasalahan dan mengemukakan gagasan serta beradu argumentasi tentang pembahasan suatu masalah yang sedang dipelajari.

e.       Ingatan
Mengingat merupakan kemampuan untuk mengemukakan kembali pengetahuan atau pengalaman yang telah diperoleh di masa lampau. Menurut yang dijelaskan oleh Kemble, 1956 (Mappa, 1994:42) bahwa seseorang yang telah mempelajari sesuatu, setelah beberapa waktu kemudian tidak dapat mengingat lagi secara keseluruhan yang pernah dipelajarinya, bagian yang masih teringat makin lama makin berkurang, sedangkan yang tersisa masih dapat teringat dalam waktu yang telatif lama. Untuk memaksimalkan kemampuan mengingat dapat dilakukan melalui penggunaan metode belajar yang tepat, belajar secara bertahap dan menggunakan teknik-teknik titian ingatan misalnya membuat pola, bagan ikhtisar, menggabungkan huruf awal atau melagukan.

3.      Faktor Lingkungan Belajar
a.       Didalam Kelas
Keadaan suhu, kelembaban, pertukaran udara, pencahayaan, tata ruang akan mempengaruhi efektifitas pembelajaran. Penggunaan meja, kursi dan papan tulis yang mudah untuk dipindahkan atau beroda akan memudahkan fasilitator dalam mengelola pembelajaran  sehingga dengan mudah untuk mengubah transisi yang diinginkan oleh fasilitator. Hubungan timbal balik yang akrab antar warga belajar, antara warga belajar dengan fasilitator dapat merangsang kegiatan pembelajaran.

b.      Diluar Kelas
Lingkungan alam (topografi, flora, fauna), lingkungan fisik (lapangan, bangunan, sanitasi), lingkungan sosial (struktur sosial, adat-istiadat, budaya) akan menjadi sumber bahan belajar dan sumber inspirasi bagi  warga belajar dan fasilitator dalam mengelola pembelajaran, akan tetapi lingkungan  yang bising, sanitasi yang kurang baik akan mengganggu efektifitas pembelajaran.

4.      Faktor Sistem Penyajian
a.       Kurikulum
Kompetensi yang akan dicapai dan alokasi waktu yang telah ditetapkan dalam struktur kurikulum turut menentukan pemilihan strategi belajar dan membelajarkan suatu mata pelajaran, adanya struktur kurikulum dapat diketahui kedudukan dan peranan setiap mata pelajaran dalam pembentukan kompetensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku.

b.      Bahan Belajar
Bahan belajar yang akan disajikan mempengaruhi dalam memilih jenis strategi belajar dan cara membelajarkan yang akan digunakan, aspek-aspek bahan belajar yang perlu dipertimbangkan adalah tingkat kemampuan yang akan dikembangkan, derajat kesukaran bahan, jenis bahan telah dikenal oleh warga belajar atau belum, serta luas dan jumlah bahan yang harus dipelajari. 

c.       Metode Penyajian
Metode penyajian berkaitan erat dengan strategi kegiatan belajar yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran, metode penyajian yang dipilih hendaknya sesuai dengan sifat dan hakikat tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, sesuai dengan sifat dan hakikat bahan belajar yang disajikan, dan sesuai dengan tingkat perkembangan belajar orang dewasa misalnya dengan diskusi atau pemecahan masalah.


H.    KEBERHASILAN PEMBELAJARAN ANDRAGOGI
Dalam terminologi praktis, andragogi berarti pembelajaran untuk orang dewasa yang  harus memusatkan lebih pada proses daripada pada materi yang sedang diajarkan (Knowles), strategi ini akan lebih bermanfaat apabila melibatkan secara langsung kepada warga belajar dalam kegiatan seperti studi kasus, memainkan peranan, simulasi, dan evaluasi diri.  Dengan kata lain bahwa kegiatan belajar berdasakan prinsip-prinsip andragogi dalam aplikasinya lebih banyak menekankan pada hubungan secara langsung antar peserta serta menekankan pula pada tujuan yang lebih khusus dari masing-masing kegiatan peserta.  Dalam hal ini, instruktur diharapkan berperan sebagai fasilitator atau nara sumber bukannya hanya pemberi ceramah.
Lebih lanjut menurut Ivor K Davies dalam (Milan Riyanto. 2004) menyatakan bahwa keberhasilan pendidikan orang dewasa dipengaruhi oleh faktor organisasional, belajar, instruksional, dan personal. Faktor-faktor tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1.   Faktor organisasional:
a.       Menata periode latihan ± 60 – 90 menit
b.      Program pembelajaran diorientasikan pada kompetensi dan pekerjaan
c.       Mengatur peserta dalam kelompok belajar bersama yang heterogen
d.      Menyelaraskan antara fasilitator dengan peserta
e.       Menghargai status dan pengalaman orang dewasa
f.       Memperkuat dorongan emosional dan semangat.

2.   Faktor belajar:
a.       Mengurangi penggunaan informasi verbal dan hafalan
b.      Menghindari informasi yang abstrak dan tidak relevan
c.       Banyak mempergunakan cara belajar dalam bentuk praktik, pengkajian, dan konsolidasi
d.      Mengurangi campur tangan & gangguan selama belajar
e.       Mengusahakan bahan belajar yang berguna & relevan.

3.   Faktor instruksional:
a.       Mempergunakan metode penemuan sendiri dalam belajar
b.      Menata sesi-sesi orientasi yang cukup panjang
c.       Membatasi lingkup dan isi materi pelajaran pada yang esensial
d.      Memperagakan secara keseluruhan, kemudian per bagian, dan kembali secara keseluruhan
e.       Lebih menggunakan instruksi tertulis daripada lisan dalam memberikan berbagai macam penugasan
f.       Menghindari penggunaan alat bantu audiovisual yang memerlukan suatu logika atau urutan yang berlainan
g.      Menghindarkan penggunaan tes dan ujian yang bersifat formal, dan sebaliknya lebih diperbanyak penggunaan penilaian yang kontinyu, (penilaian proses)
h.      Menggunakan metode pembelajaran dan tugas-tugas yang lebih bervariasi.

4.   Faktor personal:
a.       Mengikutsertakan peserta dalam proses penyusunan program pembelajaran
b.      Menghindari setiap hal yang bersifat persaingan
c.       Memberikan kesempatan pada peserta untuk bergerak maju mengikuti proses sesuai tingkat kemampuan masing-masing
d.      Mendorong peserta untuk memprogram tujuan belajar mereka dan bagaimana mencapai sasaran masing-masing
e.       Menjamin bahwa peserta merasa dapat mencapai sasaran
f.       Melihat bahwa peserta belajar secara tepat dan cermat sejak awal
g.      Meningkatkan rasa kebersamaan dan identitas kelompok.


I.       APLIKASI TEORI ANDRAGOGI DALAM PEMBELAJARAN
Dalam andragogi, peranan guru, pengajar atau pembimbing yang sering disebut dengan fasilitator adalah mempersiapkan perangkat atau prosedur untuk mendorong dan melibatkan secara aktif seluruh warga belajar, yang kemudian dikenal dengan pendekatan partisipatif. Menurut Knowles dalam Mappa (1994:126), prinsip-prinsip yang diterapkan dalam pembelajaran andragogi memiliki tujuh tahap yaitu :
  1. Menciptakan iklim dan suasana yang mendukung proses belajar mandiri.
  2. Menciptakan mekanisme dan prosedur untuk perencanaan bersama dan partisipatif
  3. Diagnosis kebutuhan-kebutuhan belajar yang spesifik
  4. Merumuskan tujuan-tujuan program yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan belajar
  5. Merencanakan pola pengalaman belajar
  6. Melakukan dan menggunakan pengalaman belajar ini dengan metoda dan teknik yang memadai
  7. Mengevaluasi hasil belajar dan mendiagnosis kembali kebutuhan-kebutuhan belajar.
Oleh karena itu dalam memproses interaksi belajar orang dewasa, kegiatan dan peranan fasilitator bukanlah memindahkan pengetahuan dan ketrampilan kepada peserta belajar. Peranan dan fungsi fasilitator adalah mendorong dan melibatkan seluruh peserta dalam proses interaksi belajar mandiri, yaitu proses belajar untuk memahami permasalahan nyata yang dihadapinya, memahami kebutuhan belajarnya sendiri, dapat merumuskan tujuan belajar, dan mendiagnosis kembali kebutuhan belajarnya sesuai dengan perkembangan yang terjadi dari waktu ke waktu. Berikut ini diuraikan langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam praktek proses pembelajaran andragogi  sebagai berikut:
1.      Menciptakan Iklim Pembelajaran yang Kondusif
Ada beberapa hal pokok yang dapat dilakukan dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim dan suasana yang kondusif untuk proses pembelajaran, yaitu:
a.       Pengaturan Lingkungan Fisik.
Pengaturan lingkungan fisik merupakan salah satu unsur dimana orang dewasa merasa terbiasa, aman, nyaman dan mudah. Untuk itu perlu dibuat senyaman mungkin antara lain: (1) Penataan dan peralatan hendaknya disesuaikan dengan kondisi orang dewasa, (2) Alat peraga dengar dan lihat yang dipergunakan hendaknya disesuaikan dengan kondisi fisik orang dewasa, dan (3) Penataan ruangan, pengaturan meja, kursi dan peralatan lainnya hendaknya memungkinkan terjadinya interaksi sosial

b.      Pengaturan Lingkungan Sosial dan Psikologis
Iklim psikologis hendaknya merupakan salah satu faktor yang membuat orang dewasa merasa diterima, dihargai dan didukun, antara lain : (1) Fasilitator lebih bersifat membantu dan mendukung, (2) Mengembangkan suasana bersahabat, informal dan santai melalui kegiatan Bina Suasana dan berbagai permainan yang sesuai, (3) Menciptakan suasana demokratis dan kebebasan untuk menyatakan pendapat tanpa rasa takut, (4) Mengembangkan semangat kebersamaan, dan (5) Menyusun kontrak belajar yang disepakati bersama.





2.      Mendiagnosis Kebutuhan Belajar
Dalam andragogi tekanan lebih banyak diberikan pada keterlibatan seluruh warga belajar  di dalam suatu proses melakukan diagnosis kebutuhan belajarnya:
a.       Melibatkan seluruh pihak terkait (stakeholder) terutama pihak yang terkena dampak langsung atas kegiatan itu.
b.      Membangun dan mengembangkan suatu model kompetensi atau prestasi ideal yang diharapkan
c.       Menyediakan berbagai pengalaman yang dibutuhkan
d.      Lakukan perbandingan antara yang diharapkan dengan kenyataan yang ada, misalkan kompetensi tertentu

3.                              Merencanakan Pembelajaran Secara Bersama
Dalam perencanaan pembelajaran hendaknya melibatkan semua pihak terkait, terutama yang akan terkena dampak langsung atas kegiatan pembelajaran tersebut. Tampaknya ada suatu "hukum" atau setidak tidaknya suatu kecenderungan dari sifat manusia bahwa mereka akan merasa 'committed' terhadap suatu keputusan apabila mereka terlibat dan berperanserta dalam pengambilan keputusan:
a.       Libatkan peserta untuk menyusun rencana pelatihan, baik yang menyangkut penentuan materi pembelajaran, penentuan waktu dan lain-lain
b.      Temuilah dan diskusikanlah segala hal dengan berbagai pihak terkait menyangkut pelatihan tersebut
c.       Terjemahkan kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi ke dalam tujuan yang diharapkan dan ke dalam materi pelatihan.
d.      Tentukan pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas di antara pihak terkait siapa melakukan apa dan kapan.

4.      Memformulasikan Tujuan
Setelah menganalisis hasil-hasil identifikasi kebutuhan dan permasalahan yang ada, langkah selanjutnya adalah merumuskan tujuan yang disepakati bersama dalam proses perencanaan partisipatif. Dalam merumuskan tujuan hendaknya dilakukan dalam bentuk deskripsi tingkah laku yang akan dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas.



5.      Mengembangkan Pola Pengalaman Belajar
Ini merupakan aspek seni dan arsitektural dari perencanaan pembelajaran dimana harus disusun secara harmonis antara beberapa kegiatan belajar seperti kegiatan diskusi kelompok besar, kelompok kecil, urutan materi dan lain sebagainya. Dalam hal ini tentu harus diperhitungkan pula kebutuhan waktu dalam membahas satu persoalan dan penetapan waktu yang sesuai.

6.      Menetapkan Materi dan Teknik Pembelajaran
Dalam menetapkan materi dan metoda atau teknik pembelajaran hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.       Materi pembelajaran hendaknya ditekankan pada pengalaman-pengalaman nyata dari peserta 
b.      Materi pembelajaran hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan berorientasi pada aplikasi praktis
c.        Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya menghindari teknik yang bersifat pemindahan pengetahuan dari fasilitator kepada peserta
d.      Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya tidak bersifat satu arah namun lebih bersifat partisipatif.

7.                              Mengevaluasi Hasil Belajar dan Melakukan Diagnosis
Pendekatan evaluasi secara konvensional (pedagogi) kurang efektif untuk diterapkan bagi orang dewasa. Untuk itu pendekatan ini tidak cocok dan tidaklah cukup untuk menilai hasil belajar orang dewasa. Ada beberapa pokok dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar bagi orang dewasa yakni:
a.       Evaluasi hendaknya berorientasi kepada pengukuran perubahan perilaku setelah mengikuti proses pembelajaran
b.      Sebaiknya evaluasi dilaksanakan melalui pengujian terhadap dan oleh peserta itu sendiri (Self Evaluation)
c.       Perubahan positif perilaku merupakan tolok ukur keberhasilan
d.      Ruang lingkup materi evaluasi "ditetapkan bersama secara partisipatif" atau berdasarkan kesepakatan bersama seluruh pihak terkait yang terlibat.
e.       Evaluasi ditujukan untuk menilai efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan program pembelajaran yang mencakup kekuatan maupun kelemahan program
f.       Menilai efektifitas materi yang dibahas dalam kaitannya dengan perubahan sikap dan perilaku.
J.      RANGKUMAN
  Andragogi sudah dikenal sejak tahun 1833 dan mulai digunakan secara meluas sejak tahun 1980 setelah Malcom Knowles menulis bukunya yang berjudul The Modern Practice of Adult Education. Andragogy versus pedagogy . Andragogi berasal dari bahasa Yunani kuno "aner", dengan akar kata andr- yang berarti orang dewasa, dan agogos yang berarti membimbing atau membina, andragogi berarti seni atau pengetahuan membimbing atau memimpin atau mengajar orang dewasa.
Asumsi-asumsi dalam pembelajaran menurut Knowles meliputi mengetahui kebutuhan akan belajar, konsep diri, peranan pengalaman, kesiapan belajar, orientasi belajar dan motivasi. Asumsi ini berbeda antara pembelajaran orang dewasa (andragogi) maupun pembelajaran untuk anak didik (pedagogi)
Pembelajaran andragogi harus memusatkan lebih pada proses daripada pada materi yang sedang diajarkan, kegiatan belajar berdasakan prinsip-prinsip andragogi dalam aplikasinya lebih banyak menekankan pada hubungan secara langsung antar peserta serta menekankan pula pada tujuan yang lebih khusus dari masing-masing kegiatan peserta.
Keberhasilan pembelajaran orang dewasa dapat dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor eksternal, faktor internal bersumber dari dari dalam meliputi faktor fisiologis seperti pendengaran, penglihatan, kondisi fisiologis  dan faktor psikologis seperti kecerdasan, motivasi, ingatan. Sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan alam, fisik dan sosial serta faktor sistem penyajian meliputi kurikulum, bahan belajar dan metode penyajian
Prinsip-prinsip yang diterapkan dalam pembelajaran andragogi memiliki tujuh tahap yaitu : menciptakan iklim dan suasana yang mendukung proses belajar mandiri, menciptakan mekanisme dan prosedur untuk perencanaan bersama dan partisipatif, diagnosis kebutuhan-kebutuhan belajar yang spesifik, merumuskan tujuan-tujuan program yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan belajar, merencanakan pola pengalaman belajar, melakukan dan menggunakan pengalaman belajar ini dengan metoda dan teknik yang memadai, dan mengevaluasi hasil belajar dan mendiagnosis kembali kebutuhan-kebutuhan belajar.





REFERENSI
Asmin, (2006) . Konsep dan Metode Pembelajaran Untuk Orang Dewasa (Andragogi). Diambil pada tanggal 15 Januari 2007, dari www.depdiknas.go.id/jurnal/34/konsep dan metode pembelajaran .htm.
Cross, K.P. Adult Learning. Diambil pada tanggal 16 Nopember 2006, dari http:// www.nl.edu/ace/ Resources/Dokuments/AdultLearning. html.

Knowles, M. (1990). The Adult Learner A Neglected Species (Fourth Edition). Houston: Gulf Publishsing Company.

Knowles, M. Andragogy. diambil pada tanggal 5 Januari 2007, dari http://tip.psychology. org/knowles. html.

Knowles, M, Informal Adult Education, Self-Direction and Andragogy, diambil pada tanggal 5 Januari 2007, dari http://www.infed.org/thinkers/et-knowl.htm.

Mappa, S., Basleman, A. (1994). Teori Belajar Orang Dewasa, Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan. Dirjen Dikti, Depdikbud.

Mujiman, H. (2006). Manajemen Pelatihan Berbasis Belajar Mandiri. Yogyakarta: Pustaka pelajar

Mukminan, dkk. (1998). Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pusat Pengembangan Pendidikan Profesi Guru, IKIP Yogyakarta.

Riyanto, M,. (2004). AndragogiMalang: PPPG IPS dan PMP Malang

Suprijanto. (2007). Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta: PT Bumi Aksara

…………. Memfasilitasi Pelatihan Partisipatif Pengantar Pendidikan Orang Dewasa diambil pada tanggal 15 Januari 2007 dari, http://www.deliveri.org/Guidelines /how/hm14/ hm14_3i.htm.

…………  2006. Andragogi. diambil pada tanggal 10 Februari 2007 dari, http://www.pts. com.my/modules. php?name=News&file=print& sid =343.

Zainudin Arif  (1994). Andragogi. Bandung: Penerbit Angkasa

Lembar Kerja Menulis Hasil Penelitian (Result and Conclusion)

  1. Result (Hasil Penelitian) Tujuan: Menyajikan temuan utama secara jelas dan objektif sesuai dengan tujuan penelitian. Gaya penulisan:...