A.
Pendahuluan
Sejarah telah mencatat kemajuan suatu bangsa
akan ditentukan oleh kemajuan sistem pendidikan negara tersebut. Pendidikan
merupakan tugas Negara yang teramat penting. Bangsa yang ingin maju, membangun,
dan berusaha memperbaiki keadaan masyarakat dan dunia, tentu akan mengatakan
bahwa pendidikan merupakan kunci. Pintu kesuksesan akan segera terbuka ketika
negara tersebut mempunyai kunci yang baik.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang
mempunyai komitmen tinggi menjadi Negara yang maju. Oleh karena itu pendidikan
adalah yang teramat penting bagi bangsa Indonesia. Akan tetapi yang teramat
disayangkan Sistem pendidikan di Indonesia masih belum menunjukan hasil kerja
yang baik. Cara dan sistem pendidikan yang ada sering menjadi sasaran kritik
dan kecaman karena seluruh daya guna sistem pendidikan tersebut diragukan. Oleh
karena itu pembenahan sistem pendidikan di Indonesia adalah kebutuhan yang
harus segera direalisasikan.
Salah satu bagian dari sistem pendiidkan
adalah persoalan belajar. Belajar adalah sebuah usaha untuk membentuk dan
mengembangkan pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, nilai, sikap, tingkah laku
dan semua perbuatan manusia. Pyle mendefnisikan belajar sebagai suatu proses
berubahnya tingkah laku tertentu yang secara relative permanent (Mukminan,
1998). Sedangkan Gagne menyampaikan disamping permanent, perubahan tingkah laku
tersebut hendaknya bukan disebabkan oleh proses pertumbuhan fisik, dan juga
bukan karena perubahan kondisi fisik yang temporer sifatnya (Mukminan, 1998).
Secara konvesional dikenal adanya dua
pendekatan yang terkenal dalam belajar manusia, yakni orientasi behavioristik
yang elementaristik dan orientasi fenomenologik yang melahirkan teori
konstruktivistik yang holistik. Perbedaan orientasi dalam memandang cara
belajar manusia inilah yang akhirnya melahirkan sejumlah teori belajar,
diantaranya adalah teori belajar kognitif.
B.
Teori
Kognitif
Teori kognitif menekankan belajar tidak sekedar
melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Model belajar kognitif
mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta
pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar
merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat
sebagai tingkah laku yang tampak. Teori Kognitif juga menekankan bahwa
bagian-bagian dari situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi
tersebut. Memisah-misahkan atau membagi-bagi situasi/materi pelajaran menjadi
komponen-komponen yang kecil-kecil dan mempelajarinya secara terpisah-pisah.
Teori kognitif berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang
mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan factor-faktor lain.
(C. Asri Budiningsih, 2003). Dalam praktik pembelajaran teori kognitif antara
lain tampak dalam rumusan-remusan seperti, “Tahap-tahap perkembangan” yang
dikemukakan oleh J. Piaget, Advance organizer dari Ausubel, dan pemahaman
konsep dari Burner (Suciati, 1993).
PIAGET
|
BURNER
|
AUSUBEL
|
·
Proses belajar terjadi
menurut pola tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umur mahasiswa
|
·
Proses belajar terjadi
lebih ditentukan oleh cara kita mengatur materi pelajaran, dan bukan
ditentukan oleh umur mahaiswa
|
·
Proses belajar terjadi
bila siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan yang dia miliki dengan
pengetahuan yang baru
|
·
Proses belajar terjadi
melalui taha-tahap:
|
·
Proses belajar terjadi
melalui tahap-tahap :
|
·
Proses belajar terjadi
melalui tahap-tahap :
|
o Asimilasi
(proses penyesuaian pengetahuan baru dengan struktur kognitif mahasiswa).
|
o Enaktif
(aktivitas mahasiswa untuk memahami lingkungan).
|
o Memperhatikan
stimulus yang diberikan
|
o Akomodasi
(proses penyesuaian struktur kognitif mahaiswa dengan pengetahuan baru).
|
o Ikonik
(mahasiswa melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal).
|
o Memahami
makna stimulus
|
o Equilibrasi
(proses penyeimbangan mental setelah terjadi proses asimilasi/ akomodasi).
|
o Simbolik
(mahasiswa memahami gagasan-gagasan abstrak).
|
o Menyimpan
dan menggunakan informasi yang sudah difahami
|
·
Contoh asimilasi dan
akomodasi adalah seperti berikut. Misalnya seorang mahasiswa telah memiliki
pengetahuan tentang perbuatan baik dan buruk. Kemudian, gurunya memberi
pelajaran baru tentang perbuatan baik dan buruk menurut falsafah Pancasila.
Maka proses penyesuaian materi baru terhadap pengetahuan yang sudah dimiliki
si mahasiswa itulah yang disebut “asimilasi”. Jika proses ini dibalik, yakni
pengetahuan si mahasiswa di sesuaikan kepada materi baru, maka proses ini
disebut sebagai “akomodasi”
|
·
Pada tahap enaktif,
seorang mahasiswa melakukan observasi dengan cara mengalami secara langsung
satu realitas. Pada tahap ikonik, mahasiswa melakukan observasi terhadap
terhadap suatu realitas, tetapi tidak dengan secara langsung mengalami, ia
cukup melakukannya melalui sumber-sumber sekunder ” seperti tulisan atau
gambar-gambar. Pada tahap simbolik, mahasiswa membuat abstraksi berupa
teori-teori, penafsiran, analisis, dan sebagainya, terhadap realitas yang
telah di amati dan alami
|
·
|
·
Selama proses asimlasi
dan akomodasi terjadi, diyakini adanya perubahan stuktur kognitif dalam benak
mahasiswa. Proses perubahan ini suatu saat harus berhenti. Untuk mencapai
saat berhenti inilah dibutuhkan proses “equilibrasi (penyeimbangan). Jika
proses equiibrasi ini berhasil dengan baik maka terbentuklah suatu struktur
kogninif yang baru dalam diri si mahasiswa, yakni penyatuan yang harmonis
antara pengetahuan lama dan pengetahuan baru.
|
·
|
·
|
C.
Aplikasi
Dalam Pendidikan
1. Teori Perkembangan
Piaget
Teori Piaget dalam aplikasi praktisnya
sangat mementingkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar.
Menurut teori Piaget, hanya dengan mengaktifkan siiswa, maka proses
asimilasi/akomodsi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik. Secara
umum, pengaplikasian teori Piaget biasanya mengikuti pola berikut ini :
1. Menentukan
tujuan-tujuan instruksional
2. Memilih
materi pelajaran
3. Menentukan
topik-topik yang mungkin dipelajari secara aktif oleh siswa (dengan bimbingan
minimum dari guru).
4. Menentukan
dan merancang kegiatan belajar yang cocok untuk topik-topik yang akan
dipelajari oleh siswa (Kegiatan belajar ini biasanya berbentuk eksperimentasi,
problem solving, roleplay).
5. Mempersiapkan
berbagai pertanyaan yang dapat memacu kreativitas siswa untuk berdiskusi atau bertanya.
6. Mengevaluasi
proses dan hasil belajar.
2. Teori
Bermakna Ausubel
Teori Ausubel dalam aplikasinya
menuntut siswa belajar secara deduktif (dari umum ke khusus). Hal lain yang
membedakan, Burner lebih mementingkan struktur disiplin ilmu. Ausubel lebih
menekankan pada aspek struktur kognitif siswa.
Satu konsep penting dalam teori Ausubel
adalah “Advance Organizer” (AO). AO adalah suatu gambaran singkat (bersifat
visual atau verbal) yang mencakup isi pelajaran barau yang akan dipelajari
siswa. AO berfungsi sebagai (1) kerangka konseptual yang menjadi titik tolak
proses belajar yang akan berlangsung; (2) penghubung antara ilmu pengetahuan
yang saat ini dikuasai siswa dengan ilmu baru yang akan dipelajari; (3) fasilitator
yang membantu mempermudah proses belajar siswa. Secara umum, teori Ausubel
dalam praktik adalah sebagai berikut :
1. Menentukan
tujuan-tujuan instruksional.
2. Mengukur
kesiapan siswa (minat, kemampuan, struktur kognitif), baik melalui tes awal,
interview, review, pertanyaan, dan lain-lain.
3. Memilih
materi pelajaran dan mengaturnya dalam bentuk penyajian konsep-konsep kunci.
4. Mengidentifikasi
prinsip-prinsip yang harus dikuasai siswa dari materi tersebut.
5. Menyajikan
suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari.
6. Membuat
dan menggunakan “advance organizer”, paling tidak dengan cara membuat rangkuman
terhadap materi yang baru saja diberikan, dilengkapi dengan uraian singkat yang
menunjukan relevansi (keterkaitan) materi yang sudah diberikan itu dengan
materi baru yang akan diberikan.
7. Mengajari
siswa memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang sudah ditentukan, dengan
memberi focus pada hubungan yang terjalin antara konsep-konsep yang ada.
8. Mengevaluasi
proses dan hasil belajar.
3. Teori
Kogninif Bruner
Teori Bruner dalam aplikasi praktisnya
sangat membebaskan siswa untuk belajar sendiri. Karena itulah teori Bruner ini
dianggap sangat cenderung bersifat “discovery” (belajar dengan cara menemukan).
Di samping itu, karena teori Bruner ini banyak menuntut
pengulangan-pengulangan, maka desain yang berulang-ulang itu lazim disebut
sebagai “kurikulum spiral Bruner”.
Secara singkat kurikulum spiral
menuntut guru untuk memberi materi perkuliahan setahap demi setahap, dari yang
sederhana ke yang kompleks, dimana suatu materi yang sebelumnya sudah
diberikan, suatu saat muncul kembali, secara terintegrasi, dialam suatu materi
baru yang lebih kompleks. Demikian seterusnya berulang-berulang, sehingga tak
terasa mahasiswa telah mempelajari suatu ilmu pengetahuan secara utuh. Secara
umum teori Bruner ini bila diaplikasikan biasanya mengikuti pola sebagai
berikut :
1. Menentukan
tujuan-tujuan instruksional.
2. Memilih
materi pelajaran.
3. Menentukan
topik-topik yang bias dipelajari secara induktif oleh mahasiswa.
4. Mencari
contoh-contoh, tugas, ilustrasi, dsb. yang dapat digunakan mahasiswa untuk
belajar.
5. Mengatur
topik-topik pelajaran sedemikian rupa sehingga urutan topic itu bergerak dari
yang paling konkrit ke yang abstrak,
dari yang sederhana ke yang kompleks, dari tahap enaktif, ikonik, sampai ke
tahap simbolik, dan seterusnya.
6. Mengevaluasi
proses dan hasil belajar.
D.
Kritik
Teori kognitif sering dikritik sebagai
lebih dekat kepada psikologi daripada kepada teori belajar, sehingga
aplikasinya dalam proses belajar-mengajar tidaklah mudah. Teori ini juga
dianggap sukar dipraktikan secara murni sebab seringkali kita tidak mungkin
memahami “struktur kognitif” yang ada dalam benak setiap peserta didik, apalagi
memilah-milah struktur kogninif tersebut menjadi bagian-bagian yang diskrit
(jelas batas-batasnya).
Pada tahap lanjut (advanced),
seringkali tidak mudah memahami dan mengidentifikasi pengetahuan yang sudah ada
dalam benak mahasiswa. Seringkali pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki peserta
didik itu sudah terlalu kompleks untuk diidentifikasi secara tuntas, apalagi
hanya dengan menggunakan satu-dua pre test.
DAFTAR
PUSTAKA
C. Asri Budingsih (2003),
Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas
Negeri Yogyakarta.
Gordon H Bower, Theori Of Learning. Both of Stanfordc
University
Mukminan (1998), Belajar
dan Pembelajaran. Yogyakarta : Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta.
Suciati (1993), Teori
Belajar dan Motivasi. Jakarta : Pusat Antar Universitas, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.